Sinar matahari sungguh sudah tidak lagi
bersembunyi dibalik megahnya gunung disana. Menyinari segenap permukaan bumi
dengan sinar putih yang mulai menusuk mata jika dipandang dan ditatap. Sinar
putih yang tak terlihat itu menyinari jendela ruangan tidur seorang lelaki
hingga menusuk matanya. Matahari sedang membangunkan seseorang dipagi yang tak
lagi bias disebut sebagai pagi.
Mata
lelaki itu masih saja tertutup rapat dengan sedikit dihiasi butiran belek yang
berwarna kuning keputihan dan sedikit cair, mungkin akibat terkena sinar
matahari tajam. Mulut yang terbuka menganga hingga gigi depannya sangat tampak
jika dilihat dari jendela kamarnya. Dipinggir bibir itu juga telah dihiasi
aliran air yang mengalir dari dalam mulutnya. Air itu telah lama mengering dan
membentuk garis putih di pinggir bibir lelaki itu. Bukan hanya di pinggir
bibirnya, namun pada bantul yang ia tiduri juga ada corak pulau yang tidak
beraturan, seperti pulau irian yang ingin memisahkan diri.
Karena
ketajaman matahari yang membidik mata lelaki itu melalui jendela karma, mata
yang sedari tadi tertutup menjadi sedikit terbuka dan menilik keluar. Apa yang
sedang menyinari matanya, ataukah ini sinar kehidupan, bukan, ini adalah sinar
matahari yang membangunkannya. Sekejap
saja dia terkaget dan langsung membuka mata dengan lebar tanpa pemanasan
sebelumnya. Wajahnya terlihat kusam dan kekusaman itu sungguh terlihat dari
raut wajahnya yang terbangun. Sedikit berminyak pada lapisan wajah itu.
Dia
melirik tajam pada jam alarm miliknya di samping ranjang. Dia mungkin serasa
kesal kenapa harus dibangunkan oleh matahari yang sudah terik dan bukan alarm
yang sudah dia stel agar segera bangun. Namun apa daya ternyata alarm itu sudah
tidak berfungsi lagi alias baterainya perlu dibelikan yang baru.
Matanya
memerah seperti banteng spanyol yang marah akibat tak mendapatkan target si
baju merah. Kemudian dia bergegas kekamar mandi untuk mengguyur badannya dengan
air ; melakukan ritual membersihkan badan. Dia telah sadar dari lamunan
mimpinya dan benar benar telah terbangun dari tidur. Kini dia terlihat rapi
seperti akan melakukan sebuah perjalanan. Ya, hari ini dia harus berangkat ke
Kota malang dari Jogja karena ada acara pernikahan temannya.
Dia
terlihat mencari sesuatu di kamarnya. Yang dicari adalah tiket bis yang telah
di belinya kemarin sore. Jika hilang maka dia tidak akan berangkat ke kota
malang. Atau opsi lain adalah membelinya kembali, namun uang tak lagi memadai;
belum lagi uang makan untuk kesana. Tiket itu belum saja dia temukan, dia bisa
telat gara-gara alarm yang tidak membangunkannya di pagi buta. Malah sinar matahari
yang membangunkannya dengan tusukan tajam di mata. Jika saja alarm
membangunkannya pagi tadi, maka dia tidak akan seresah saat ini. Sebab perasaannya
kini telah bercampur rasa marah dan gelisah disebabkan tiket yang hilang dan
alarm yang mati.
Setelah
membongkar isi kamar, ternyata tiket itu ada disaku bajunya di belakang pintu. Tanpa
membereskan lagi kamar, dia langsung saja berlari menuju terminal bis yang
berada sekitar seratus meter dari kosannya; dia adalah mahasiswa yang harus
hidup dalam kosan berantakan. Kereta terlihat berjejer rapid an akan berabgkat.
Dia kembali melihat tiket miliknya, pada bis apa dan jam berapa dia akan
berangkat ke kota malang.
Seseorang
dengan perut sedikit buncit mengumandangkan teriakan bahwa bis dengan tujuan
malang akan segera berangkat dan bis itu berada paling depan, sedangkan dirinya
ada pada jejeran bis terbelakang. Dia kemudian berlari terbirit birit takut
ketinggalan bis. Berlari seperti bocah yang dikejar anjing di tengah malam. Benar
saja dugaannya, bis itu telah berangkat dan beranjak meninggalkan terminal. Dia
lari semakin kencang saja bak pelari asian games demi meraih emas. Itulah
yang dilakukannya untuk mengejar bis situ.
Kemudian
dia berteriak kencang pada bis itu agar berhenti menunggunya. Namun tak
didengar oleh supir ataupun penghuni bis, sebab suara bis terlalu bising dari
teriakannya. Seoarang knek bis melihatnya berlari dan kemudian memerintahkan
supir untuk berhenti sejenak. Sebuah syukur pada orang itu. Diapun segera naik
kebis dengan mulut terengah-engah dan tas hitam dipunggunya. Semua orang
memandanginya seperti memandangi maling ayam yang kedapatan mencuri di tetangga
sebelah. Dia tidak menghiraukan tatapan mata itu, tetap berjalan dan mencari
kursi yang kosong.
Di
bangku tengah ada kursi yang kosong. Dia hendak duduk disitu namun yang
dilihatnya adalah bencong dengan lengan kekar tak sekekar miliknya. Bencong berwajah
kriminal itu menarik tangannya agar duduk bersamanya. Oh tidak, jangan sampai
itu terjadi. Dia menghempaskan tangan bencong dan kemudian bergegas kebelakang
bis. Disana juga ada bangku kosong satu lagi. Bagaimana jadinya jika dia duduk
berdampingan dengan bencong tadi, mungkin keperjakaannya akan hilang direnggut.
Mugkin.
Di
ujung bis dia duduk bersama sorang pria dengan bau badan yang sedikit semerbak
dan dapat membunuh ikan di lautan dasar jika menciumnya. Itulah yang harus
dirasakannya saat ini. Menahan segala aroma itu agar tetap bernafas dengan baik
dan jangan sampai aroma itu membiusnya. Bis kembali berjalan sejak dia menginjakkan
kaki di atas bis tua itu.
Di
tengah perjalan bis biasanya berhenti untuk mengambil penumpang lagi, kemudian
beberapa pengamen masuk kedalam bis untuk menanyikan sebuah lagu, walau
sebenarnya tak memiliki nada. Dua orang pengamen telah berada pada bis yang dia
tumpangi, bernyanyi dengan lagu yang liriknya tak begitu dihapalnya. Dia hanya
diam dan memandang keluar jendela bis. Dia lebih memilih melihat pepohonan
diluar sana disbanding haru mendengarkan pengamen itu bernyanyi dengan nada
yang merusak telinga; walau sebenarnya suara mereka tidak begitu jelek, mungkin
bisa menembus babak eliminasi Indonesian idol.
Setelah
bernyanyi beberapa lagu, kemudian seorang lagi dari pengamen itu berjalan di
tengah bangku bis sambil menadahkan topi dengan terbalik. Ini adalah ritual untuk
meminta sumbangan pada pemirsa yang berada dalam bis. Dan ini bukanlah acara
sumbangan buat yatim piatu, tidak sama sekali. Orang-orang akan memberikan
dengan seikhlasnya dan lebih memilih uang receh untuk diberikan daripada harus
memberikan dengan benar-benar ikhlas. Sebab jika ikhlas tidak akan memberikan
sebuah receh dengan tulisan dua ratus rupiah atau lima ratus rupiah. Jika ada
yang memberikan selembar kertas, mungkin disakunya sudah tidak terdapat lagi
sebuah receh. Dan itupun selembaran uang kertas bergambar patimura yang
memegang parang. Mungkin orang-orang menyebutnya dengan uang parang.
Dia
kemudian melirik pada pengamen itu yang semakin dekat dengannya. Semua orang
terlihat memberikan sumbangan. Dia semakin gelisah, sebab dia tidak lagi
memiliki sebuah receh ataupun uang parang. Semuanya bernominal besar. Tanpa berpikir
panjang, dia kemudian berpura-pura tidur dengan pulas sebelum dirinya dilihat
oleh pengamen itu.
Hawa
seorang pengamen semakin dekat dan langkah kaki itu semakin mendekati dirinya
yang sedang drama tidur. Suara minta sumbangan dari pengamen mulai terdengar
berada tepat disampingnya. Berarti setelah ini adalah gilirannya untuk
memberikan sumbangan. Matanya semakin ditutup rapat saja demi menghindari
sumbangan liar (keluh seorang anak kosan). Tak lama kemudian suara itu sudah
tidak ada lagi. Sepertinya pengamen itu sudah pergi.
Inilah
saatnya untuk membuka mata dan berhenti drama tidurnya. Mata dibuka dan mata
yang lain telah menatap tajam penuh harapan padanya. Ternyata pengamen itu
masih berada tepat didepannya dengan menadahkan topi terbalik ke arahnya. Tatapan
pengamen itu sungguh seperti singa kelaparan mengharapkan imbalan. Dia kemudian
sedikit bingung harus berbuat apa. Tangan kaku dan kaki gemetar, dan pada
akhirnya dia memberikan selembar kertas berwarna merah tua; uang sepuluh ribu.
Daripada harus ditatap seperti itu mending dia merelakan uang jatah makannya
untuk pengamen itu.
Wajah
berbinar bahagia nampak jelas terlihat dari raut wajah pengamen itu setelah
mendapatkannya. Sedangkan wajah lesuh dan kesal sangat terlihat dari wajah
lelaki itu yang harus merelakan kepergian uangnya di renggut oleh pengamen tak
punya hati (gerutu). Pengamen itu terlihat turun dari bis dan penumpang yang
lain masuk. Dan bis kembali berjalan menuju kota malang.
Tak
ada lagi yang harus diperbuat. Daripada harus tidur dengan drama mending tidur
beneran dan menunggu bis sampai tujuan. Tas hitam miliknya dipeluk erat dan
kemudian mata ditutup untuk menyegerakan tidur. Walau hati sebenarnya sedang
resah dan marah apa yang telah menimpanya sejak matahari membangunkannya.
Posting Komentar