Siang yang
terik memang hari ini. Matahari yang membakar segala jenis kulit membuat segala
makhluk hidup untuk berteduh pada jauhnya sinar matahari. Sekedar melindungi
diri dari terik yang menyengat itu. Sungguh sangat menyengat. Pohon yang teduh
atau atap rumah adalah sebagai pelindung yang sangat dibutuhkan dari panas. Melindungi
diri dari serangan matahari siang ini. Namun tidak dengan seorang anak
laki-laki dengan perawakan kurus. Wajahnya tirus dan rambutnya sedikit keriting
berwarna hitam. Warna kulit tubuhnya sawo hampir matang. Dia adalah
satu-satunya manusia yang tak berteduh di tengah kota dari terik panas siang
ini. Dia bercinta dengan matahari dengan lihai, bahkan dia merayu matahari agar
lebih panas lagi.
Dia adalah anak dari desa seberang
kota yang kini tidak lagi memiliki seorang ayah dan ibu. Bahkan untuk sanak
keluarga saja tak ada sama sekali. Mungkin ada, namun tak diketahuinya saja. Jauh
dari kehidupan keluarga mengharuskannya hidup semandiri mungkin dalam
kesendirian dan tumbuh dewasa tanpa bantuan dari sanak keluarga. Kasih sayang seorang
ayah tak lagi bisa dia dapatkan, apalagi cinta seorang ibu yang penuh ketulusan,
sudah tak pernah dia dapatkan sejak ditinggalkan oleh keduanya. Kini harus
hidup seorang diri dan bertahan bersama manusia lain yang tak dikenalnya.
Karena tidak ada lagi yang bisa
menafkahinya, maka dia berjuang dalam menyambung hidup ditengah perkotaan yang
penuh dengan ego manusia yang mengejar dunia. Hidup ditengah perkotaan yang begitu
rumit dengan masalah membuatnya harus menghadapi itu semua dengan penuh
kesabaran dan juga ketabahan. Kini dia harus menjadi kuli pengangkat beras
disetiap pagi dan siang. Sisanya dihabiskan menyendiri entah kemana. Sebab tak
tau mau pulang kemana. Itulah yang dikerjakannya
pada setiap hari. Kerja lalu pergi entah kemana untuk menikmati sebuah kesepian
ditengah keramaian orang banyak.
Habibi terlihat lelah dengan
keringat dingin didahinya. Tak berhenti mengangkat beras untuk dipindahkan ke truk
beras. Sedangkan kawan-kawannya yang lain telah beristirahat disebabkan lelah
dan sinar matahari yang menyengat. Namun dia tetap bersikukuh melawan capek dan
panas demi menyambung hidup hari ini.
‘’berhentilah
kau sejenak, tidakkah kau rasakan panas yang menyengat ini ?” sebuah tawaran
istirahat dari kepala toko yang mempekerjakannya, karena merasa kasian dan iba
pada Habibi. Tetap saja dia menolak tawaran itu
“tidak,
terimakasih pak” penolakan dari Habibi hanya mendapatkan respon kerutan dahi
dari bosnya. Ini adalah sebuah kesempatan yang sering dia lewatkan jika
ditawarkan. Sebab dia mengejar target agar lebih banyak lagi mendapatkan uang
untuk hari ini. Sebab pada setiap karung yang berhasil diangkut dari dalam toko
ke truk beras adalah dua ribu rupiah. Maka jika sehari hanya bisa mengangkut
tiga puluh karung beras, hanya akan berjumlah enam puluh ribu saja perhari. Sedangkan
tiap uang harian itu disisihkan Habibi untuk di masukkan kedalam celengan ayam
miliknya.
Truk beras telah selesai di isi
penuh oleh pekerja toko dan kemudian truk pergi meninggalkan toko itu. Dan kemudian
hilang dipersimpangan jalan. Semua orang kembali antri didepan bos pemilik toko
beras untuk mendapatkan imbalan sesuai yang diangkutnya ke atas truk tadi. Senyum
bahagia, lelah dan capek bersatu padu pada mereka yang telah mengangkut beras
itu. Sebagian yang bekerja adalah mereka yang sedang menafkahi anak dan istri
di rumah. Hanya pekerjaan ini saja yang dapat mereka lakukan demi menyambung
hidup ditengah perkotaan tiap harinya. Begitu juga dengan Habibi, berjibaku
pada karung beras dan mengorbankan masa muda untuk mencari nafkah demi
kelangsungan hidupnya.
Semua orang kembali kerumah dan
kediaman masing-masing untuk sekedar istirahat atau melihat keluarga dengan
senyuman yang indah untuk menambah semangat hidup. Tapi tidak dengan Habibi,
melangkah jauh dari tokoh dan kembali ketempatnya yang tidak layak dikatakan
sebagai tempat manusia. Dia tinggal dibawah kolong jembatan bersama seorang
kakek tua yang tak dikenalnya. Dia kembali ke tempat itu ketika ingin saja. Jika
tidak ingin kembali, makan seminggupun tak akan kembali. Dia lebih memilih
menunggu malam di jembatan kota sambil duduk diatas kursi besi dan melihat
semesta diatas sana. Itulah yang lebih disukainya.
Matahari mulai lengser sedikit ke
barat pertanda sore akan tiba hari ini. Habibi masih melangkah lesu menuju
kolong jembatan tempat tinggalnya. Wajah yang lelah dan keringat yang membasahi
bajunya adalah sebuah bukti kelesuhan itu. Walau seperti itu senyum masih
menghiasi wajah tirusnya itu.
Orang-orang ditaman kota mulai berdatangan
untuk meramaikannya. Walau hanya sekedar rumpi dan membahas hal yang tidak
begitu penting. Anak-anak yang berlarian dan diawasi oleh ayah dan juga seorang
ibu adalah pemandangan yang sering dilihat oleh Habibi apabila pulang dari
kerja mengangkat beras. Memandangi seorang anak yang berlarian dan bercanda
dengan ayah. Sedangkan ibu tertawa melihat tingkah itu. Rasa sedih dan rindu
tak bisa Habibi sembunyikan jika sudah melihat hal itu. Dan tanpa sadar air
matanya menetes jatuh ke pipi. Sungguh bahagia
anak itu yang sedang didamping seorang ayah dan ibu. Penuh kasih sayang dan
tumbuh dalam keluarga yang bahagia. Fatamorgana dan bayang-bayang itu telah
menghampiri Habibi jika melewati taman kota. Sebenarnya hal itu yang ingin
dilihatnya, walau hanya sekedar melihat tanpa harus meiknmati kebahagiaan itu. Tapi
sudah lebih dari cukup memandang hal itu yang masih bisa dilihatnya.
Tak mau berlama melihat pemandangan
di taman kota itu. Habibi terus melanjutkan langkahnya untuk kembali. Di depan
sebuah toko, tepat di pinggir jalan. Seorang kakek buta duduk dan kardus kecil
didepannya. Tidak lain adalah seorang pengemis tua yang meminta belas kasih
manusia lainnya. Itulah caranya agar tetap bisa bertahan hidup ditengah
kebutaan dan kelemahan fisik. Habibi kembali menatap sesuatu yang membuat
hatinya merasa kasian dan juga sedih. Orang-orang yang berjalan didepan
pengemis tua itu, hanya sekedar lewat atau menengok isi kardus kecil itu. Ada sebagian
lagi dari mereka melemparkan koin receh ke kardus itu (tanpa sebuah
keikhlasan). Habibi menarik selembar kertas sepuluh ribu untuk diberikan kepada
kakek tua itu. Padahal uang itu seharusnya akan di tabungnya. Karena merasa
kasian pada pengemis tua itu, maka direlakannya.
Dengan senyum pada pengemis tua itu,
habibi memberikan uangnya. Walau sebenarnya si pengemis tidak bisa melihat nominal
uang dan senyum yang diberikan Habibi. Tapi, sebuah harapan yang tertanam pada
Habibi adalah semoga beliau akan merasakan senyumnya itu walau tak bisa
melihatnya.
Sebelum sampai dikolong jembatan
itu, biasanya dia akan membeli nasi untuk makan malam nanti. Dan kemudian
dibawanya pulang kerumah (Bagi Habibi rumah adalah bahagiaku, walau itu hanya
kolong jembatan). Matahari mulai menenggelamkan diri di ufuk barat sehingga
megah merah alias senja akan muncul menyambut malam. Kelelawar juga akan keluar
mencari sebuah penghidupan.
Senja dengan warna indahnya telah
menampakkan kemegahannya dimuka bumi. Memaparkan sejuta rasa pada kerlipan aksa
manusia. Sedangkan mentari mulai melambai jauh tuk berpisah dan bertemu esok
hari. Inilah waktu menunggu malam, tak ada lagi bising dari keramaian kota yang
penuh ego dan ambisi orang-orang berdasi. Habibi dengan wajah tirusnya
memandangi senja dari jembatan kota sambil senyum penuh harapan esok hari.
Sebelum esok datang, maka malam
menunggu tuk dijamah dan dinikmatinya. Jembatan kota selalu menjadi tempat
favorit Habibi tuk menunggu malam. Sebab disana senja sungguh terlihat indah
dan menggoda pada setiap aksa yang memandang. Malam akan bercerita tentang
keindahan rembulan dan rasi bintang yang menjadi pertunjukkannya. Malam juga
sebagai tempat curhat Habibi dikala merindu pada bulan yang jauh disana. Semoga
malam ini akan memberikan hiburan yang memukau pada Habibi.
Posting Komentar