suara bising
kota tak akan pernah terdengar di tempat ini. Dimana lagi kalau bukan sebuah
pedesaan yang penuh kedamaian di setiap penjuru jejak kaki anak desa. Hidup di
tempat ini akan sangat sungguh berbeda dengan hidup di tengah perkotaan yang
penuh dengan kebisingan kendaraan dan juga caci maki orang-orang pada ambisi
dan ego dikepala. Tak ada yang mau disalahkan, pembenaran adalah milik mereka
yang bertahta dan berharta.
Kicau burung di pinggir sungai
menilih indah di telinga. Pepohonan yang rindang berjejer rapi dan indah,
sehingga mampu membuat mata menjadi sejuk dan damai terasa. Dedaunan ikut
menari di tengah jejeran itu, sembari mengikuti alunan sepoi yang semakin
meniup pada mentari siang ini. Suara ari sungai sungguh merdu, mengalir tanpa
ada kandas sedikitpun, mengalir terus mengikuti alur hilir sungai kelautan. Air
yang jernih itu membuat ikan-ikan yang ada didalam sana terlihat oleh mata. Menari
kesana kemari mencari selahap makanan di bebatuan sungai.
Irsad dengan kail pancingannya yang
panjang sedang duduk dipinggir sungai dan menelaah ke sungai. Pancing yang
terbuat dari bambu mati dan ujung bambunya di ikatkan seutas tasi berwarna
bening. Irsad terus memandangi ujung tasi itu di pinggir sungai, berharap ada
ikan yang memakan umpannya. Cukup lama dirinya menunggu ada ikan yang melahap
umpan miliknya. Namun sama sekali tak ada yang mau memakan umpan itu. Mungkin ikan
sadar jika umpan itu akan membawanya pada dunia lain. Hingga beberapa menit
kemudian ujung tasing mulai bergerak. Sepertinya ada yang memakan umpan
miliknya kali ini. Semoga saja itu adalah ikan yang besar (harapnya).
Ditariknya dengan kencang pancing
itu. Ujung bambu pancingan itu bengkok akibat beban ikan yang ditarik itu. Tarik menarik terjadilah antara dia
dan ikan yang ada di kail pancingan miliknya. Tak ada yang mau mengalah antara
mereka. Saling bersikukuh untuk memenangkan pertarungan. Namun apa daya ikan
itu berhasil melepaskan diri dari kail pancing miliknya. Rasa kesal tiba-tiba
mencuap dalam dirinya, muka merah padam. Menunggu sampai hampir setengah jam
dan harus merelakan kepergian ikan itu. Mungkin hari ini bukan keberuntungan
miliknya. Namun keberuntangan siang ini lebih memihak pada ikan sungai itu. Akhirnya
irsad memustuskan untuk berhenti dan pergi mengembala kambing milik ayahnya
yang ditinggal di lapangan samping sungai tadi.
Dilihatnya kambing
itu masih merumput pada lapangan. Saling berebut makanan, tetapi sepertinya ada
yang kurang dari jumlah mereka semula. Kemudian irsad menghitung jumlah mereka.
Satu dua tiga empat lima enam tujuh, loh kok cuman lima. Mana yang dua lagi
perginya. Hatinya menjadi semakin resah dan gulana saja. Setelah dikecewakan
ikan tadi, kini dirinya kembali dikecewakan oleh seekor kambing siang ini. Dilihatnya
sekitar lapangan, berharap masih bisa melihat kambing yang hilang dari
rombongan itu. Nihil, hasilnya sama sekali tak meredahkan hatinya. Kosong, tak
ada. Kemana kedua kambing itu pergi. Ataukah mereka sedang bercumbu berdua
(mana mungkin hewan itu bersembunyi). Hatinya semakin gusar saja, sebab jika
kambing itu sampai hilang, maka dia akan mendapat marah dari ayahnya.
Mentari kini
semakin mencambukkan terik panas pada wajah irsad, dia harus membawa kambing itu
ketempat teduh. Agar dirinya bisa mengawasi kambing kambing itu dari jauhnya
terik mentari. Dia berharap dengan menunggu di bawah pohon mangga, kambing yang
hilang akan segera kembali dalam rombongan. Harapnya.
Dibawah pohon
yang cukup rindang, dirinya berteduh dari teriknya panas mentari siang ini. Sambil
mengawasi kambing milik ayahnya yang sedang menikmati makan siang di lapangan. Dirinya
masih di serang rasa cemas, sebab kedua kambing itu belum juga kunjung datang. Apakah
mungkin kedua kambing itu di ambil orang, atau bergabung dengan kelompok
kambing lain milik orang lain. Sepertinya dia harus tetap disini saja,
mengawasi kambing yang lain. Sembari menunggu kedua kambing itu kembali lagi. Semoga
saja cepat kembali (harapnya).
Sejam berlalu
masa penantian itu, tetap saja. Kedua kambing itu belum juga datang bergabung
bersama rombongan yang lain. Rasa cemas dan takut kini semakin menjadi jadi
saja. Sedangkan mentari sebentar lagi akan sampai pada waktunya untuk
mengembailkan kambing kedalam kandang. Dia harus mengambil keputusan agar
dirinya tidak mendapat marah dari ayahnya. Memilih antara pergi mencari kedua
kambing itu dan meninggalkan rombongan kambing yang lain tanpa pengawasan. Atau
opsi yang kedua, tetap berada dibawah pohon yang dingin sambil mengawasi
rombongan kambing dan menunggu kembalinya kedua kambing itu. Dirinya mulai
bimbang antara mencari dan tetap ditempat. Kedua pilihan itu sama sekali bukan
solusi yang baik baginya. Sebab jika dia pergi meninggalkan rombongan kambing untuk mencari dua kambing
yang lain, maka tidak akan ada yang mengawasi mereka. Malah akan menambah
jumlah yang hilang saja. Dan jika dia tetap menunggu dan mengawasi rombongan
itu. Takutnya kedua kambing tak akan pernah kembali sampai waktunya untuk
pulang.
Bimbang dan
bingung yang dirasakan sekarang. Bahkan rasa kesal dan penyesalan mulai
menggerutu dalam dadanya. Mengapa dia harus meninggalkan rombongan kambing itu
dan pergi memancing tadi, dan pada akhirnya harus seperti ini. Pilihan adalah
sebuah penentu baginya saat ini, dia harus benar-benar memilih pilihan yang
tepat. Segala rasa amarah bukanlah jalan yang baik saat ini. Menenangkan pikiran
dan berpikir jernih adalah jalan satu satunya untuk mendapatkan sebuah pilihan
yang tepat saat ini. Bukan bercumbu dengan rasa marah dan ego yang akan menghancurkan pilihannya.
Pada akhirnya
dia harus tetap menunggu saja dibawah pohon sambil mengawasi kambing kambing
itu dan berharap kedua kambing itu akan segera kembali pada kelompok. Dia tidak
hanya menunggu, dia juga memanggil manggil dengan suara khas untuk memanggil kambing
itu. Nihil, sama sekali tidak ada jawaban dari suaranya itu. Kambing itu tetap
tak terlihat pertanda akan kembali. Dan kini satu kambing dari rombongan malah
ingin memisahkan diri juga. Dikejarnya kambing itu dan dikembalikan lagi. Coba saja
dirinya tadi tetap pergi mencari kedua kambing itu, malah semuanya akan ikut
hilang.
Rasa lelah
mulai mengahmpiri dirinya. Kulit sawo matangnya di basahi keringat akibat panas
mentari dan juga rasa takut yang belum juga pergi dari dalam dirinya, kedua
kambing itu penyebabnya. Kicauan burung terdengar menyanyikan lagu dari atas
pohon tempatnya berteduh. Bernada jelek namun cukup menghibur dirinya dari
kepergiaan kedua kambing itu.
Menunggu adalah
perbuatan yang paling di segani oleh manusia. Dan itulah yang harus dirasakan
oleh irsad saat ini. Harus menunggu kedua kambing itu pulang. Dan sampai saat
ini belum juga kunjung datang. Masih jauh dari harapan. Bibir irsad mulai
mengering dan pucat. Bingarnya mulai merasuk pada kepalanya. Melihat amarah
ayahnya jika sampai tau kedua kambing itu telah hilang akibat dirinya
meninggalkan pengawasan dan pergi memancing. Ini adalah sebuah amanah yang
harus dijaganya, jangan sampai dia mengecewakan seorang ayah hanya karena kedua
kambing itu. Kambing itu harus di temukannya kembali dan dibawa pulang ke
kandang dalam jumlah yang sama.
Dia harus
menunggu dan bersabar kedua kambing itu kembali. Sebab firasatnya mengatakan
kedua kambing itu akan segera kembali pada rombongan lagi. Ini hanya masalah
waktu saja. Dia harus bersabar dan benar benar bersabar. Jangan sampai pilihan
yang telah dipilihnya adalah sebuah inkar baginya sendiri. Sembari menunggu,
dia kemudian meneriakkan suara lagi di sekitar lapangan. Berharap kedua kembing
itu mendengar dan akan kembali lagi. Sama saja, tak ada jawaban dari kedua
kambing itu. Dan harus kembali menunggu dibawah pohon mangga yang sedari tadi
telah menjadi teman setia dalam melindungi dirinya dari teriknya mentari.
Awan awan
putih diatas sana terlihat mengitari mentari sembari mnari bersama angin
nirwana. Mata irsad sekarang tertuju pada awan awan putih itu. Memandang sepercik
harapan dan kuasa Tuhan di atas sana. Mungkinkah Tuhan akan menolongku sekarang
(dirinya mulai bergurutu pada awan disana). Jika awan itu menjadi hitam, maka
yang putih akan tetap kembali. Itulah mereka disana, sebuah pertunjukkan yang
indah. Dirinya mulai melamun tak karuan.
Dirinya kembali
tersadarkan oleh suara kambing yang menusuk telinganya. Kaget dari lamunan
tadi, ternyata dirinya dari tadi sedang melamun. Kemudian rasa panik
menghampirinya. Dia kemudian segera melihat pada rombongan kambing itu dan
mencoba kembali berhitung.
Satu dua
tiga empat lima enam tujuh, kurang satu lagi. Ternyata yang satu telah kembali
dalam rombongan. Terdengar suara kambing di ujung lapangan. Kemudian matanya
menilik langsung kesuara itu. Dan delapan, itu adalah dia yang hilang sedari
tadi. Akhirnya kembali. Sabar dalam menunggu adalah sebuah pilihan yang tepat
baginya tadi. Tetap bersyukur pada segala apa yang telah Tuhan berikan padanya
kali ini. Kambing kambing itu kembali berjumlah lengkap lagi. Tak ada yang sia
sia dari sebuah penantian, semuanya akan terhitang sebuah upaya dari usaha
dalam mencari.
Posting Komentar