Instagram @andongviapendem |
“Terselamatkan
oleh nasib yang baik, tetapi jalur jalur bersemak semakin tak terlihat dan
kehilangan arah, tidak ada lagi pandangan dari kejauhan.”
Sepertinya saya sudah ketagihan dengan yang satu ini. Kata mereka
candu (Ini sedikit berlebihan) sudah mulai tumbuh, sebentar lagi akan menjadi
kegiatan yang berkelanjutan. Sangat susah untuk berhenti. Akan ada masanya
menyempatkan waktu walau tak ada demi kegiatan yang satu ini. Saya benar benar
sudah ketagihan dengannya.
Yusta, lagi lagi dia menjadi teman pendakian untuk keempat kalinya.
Sebelum pemberangkatan menuju basecamp Pendem Gunung Andong, kami harus terlebih
dahulu menunggu kedatangan Yusta dari Semarang. Dia berkuliah di tempat
tersebut. Rencana awal berangkat adalah sore, tetapi karena dia baru datang
setelah isya, barulah kami berangkat.
Dan lagi kami berenam berangkat pada gelapnya malam menyusuri jalan
magelang menuju basecamp dengan suasana dingin. Andong sebenarnya pilihan kedua
setelah gunung Prau, mengingat ke gunung Prau amatlah jauh dari Jogja dan ini
sudah malam. Kami memutuskan naik Andong saja yang jaraknya cukup dekat.
Sesampai di basecamp pikirku tidak akan ada pendaki lagi. Ternyata masih
ada juga yang melakukan pendakian malam selain kami. Simaksi sebesar sepuluh
ribu rupiah untuk setiap pendaki. Ini terbilang murah dari simaksi dari gunung
gunung lainnya.
Sebelum ke gunung ini, saya menyempatkan melihat foto foto orang di
gunung tersebut. Dan saya baru tahu kalau gunung ini adalah gunung dengan
ketinggian terpendek yang ada di Jawa Tengah. Tingginya hanya mencapai 1762
MDPL.
Karena kami naik malam, kami memilih jalur yang cepat sampai ke
puncak untuk langsung mendirikan tenda. Dari jalur sawit ini, terbagi dua
jalan, yang kanan dan yang kiri. Kalau yang kiri itu langsung menanjak naik,
sedang yang kanan santai memutar tapi lebih lama. Dan kami memilih yang kanan.
Dalam pikiranku ketika mendaki untuk yang keempat kalinya ini,
mungkin saya akan biasa saja dan tidak terlalu ngos ngosan seperti pada gunung
sebelumnya. Start awal kaki dan nafas masih seimbang berjalan, santai. Tetapi setelah
masuk 1000 MDPl, perut dan kepala mulai tidak bersahabat. Aduh, jangan sampai
peristiwa yang di gunung Merapi kemarin terulang lagi di gunung Andong.
Dan benar saja, karena memaksakan diri untuk tidak beristirahat
akhirnya saya muntah persis waktu melewati gerbang selo gunung Merapi kala itu.
Untung saja ada Yusta yang memijiti kepalaku, perlahan rasa sakit dan mualpun
hilang. Ternyata setelah muntah sekali tadi, perasaan menjadi lega dan stamina
tiba tiba saja kembali membaik. Ini adalah kabar yang baik.
Dinginnya gunung Andong tak sedingin dengan gunung Merapi, disini
suhu dinginnya terbilang lebih rendah ketimbang gunung sebelum yang kudaki. Mungkin
saja dengan ketinggian ini gunung Andong tak memiliki suhu dingin yang lebih
rendah dari gunung lainnya.
Pendirian tenda berada tepat pada puncak gunung Andong sendiri,
tidak dengan gunung sebelumnya, puncak tidak bisa dijadikan sebagai tempat
mendirikan tenda. Teman teman yang lain sudah berada jauh di depan sana, sedang
saya dan Yusta masih di belakang. Puncak belum juga terlihat.
Setelah sebelum mencapai puncak, saya sejenak duduk dan
menghadap kedepan melihat indahnya rasi
bintang, sesekali juga cahaya lampu rumah warga dibawah sana kulirik. Sebenarnya
sudah sejak dari tadi saya menginginkan hal ini, saya ingin sekali
menikmatinya. Namun kepala dan perut yang bergerutu sakit. Akhirnya kupaksakan
jalan saja.
Sungguh indah berada disini, semuanya terlihat lepas tanpa kandas. Tiada
kabut yang menghalangi pandangan seperti di Gunung Merapi waktu itu. setelah
menikmati keindahan ini, saya berlalu bersama Yusta untuk segera menyusul
kedepan. belum saja melangkah jauh. Puncak sudah melambaikan tangan kepada
kami. Itu dia puncak Alap Alap Gunung Andong.
Oh ya, gunung Andong ini memiliki dua puncak. Puncak tertingginya
ada di puncak Andong, sedang puncak yang lain ada di tempat kami akan
mendirikan tenda malam ini. Ini adalah pendakian tercepat yang pernah kami
lakukan, hanya butuh waktu dua jama saja kami sudah berada di atas gunung ini.
Mengingat dengan ketinggian gunung yang lebih rendah ini.
Malam masih panjang, tak mau kami sia siakan hanya dengan tidur. Akhirnya
untuk menunggu mata mengantuk, kami bercerita, gibah, tertawa didalam tenda
ukuran lima orang ini. orang orang yang menjadi bahan gibah selalu saja ada dan
tak pernah habis.
Sepagi ini, orang orang telah ramai ramai mengabadikan momen dengan
kamera masing masing. Cakrawala jingga itu kembali menatap kami untuk kesekian
kalinya. Walau begitu keindahannya selalu saja berbeda dan bertambah tiap
waktu. Setiap sudut gunung selalu saja indah, saya kembali ditakjubkan dengan
hal ini.
Sayang, sungguh sayang dengan sikap yang telah saya asumsikan terhadap
gunung ini. menganggapnya lebih enteng dan mudah. Ternyata gunung Andong juga
yang membuat saya kelabakan dan harus memuntahkan ego dan kesombongan. Gunung ini
memberikanku banyak pelajaran.
Ternyata setiap gunung tidak bisa dinilai dari seberapa tingginya. Nyatanya
dengan ketinggian seperti ini saja membuatku kelelahan dan kaki serta betis
terasa tertusuk jarum. Sakit, pegal dan semua jenisnya. Terimakasih Gunung Andong dengan suguhanmu pada kami.
Posting Komentar