instagram @lawumountain |
“kematian tak
akan pernah memberitahu siapapun, kapan saja bisa datang. Terlalu bodoh dan tak
berakal sama halnya dengan anak itik yang jatuh ke kolong jembatan”
Setelah perencanaan yang cukup lama dan terlalu banyak penundaan. Akhirnya
pada awal bulan tahun 2018 bisa terwujudkan pendakian yang kedua bagi Aksara
pribadi. Pendakian ini diwacanakan oleh teman teman kolektif; teman teman kala
masih di pondok dulu. Setelah sekian lama, hampir dua bulan wacana ini tidak
terealisasikan.
Karena teman teman kolektif ini berada pada daerah dan tempat yang
berbeda beda. Maka kami memutuskan untuk bertemu di basecamp cemoro sewu. Karena
pendakian kali ini kami akan mencoba jalur ini. Sebab kata teman teman yang
lain, hanya jalur ini yang cepat dari beberapa jalur Gunung Lawu yang lain.
Saya dan berlima teman yang lain berangkat bersama dari Jogja. Sedang
yang lain lagi, berangkat dari kota Solo dan Ponorogo. Dan hanya kami berlima
yang jaraknya cukup jauh dari tujuan. Hanya motor yang menjadi kendaraan kami,
dan selalu motor.
Kami berangkat sore dan akhirnya kemalaman di jalan. Karena takut
sudah gelap dan tidak memungkinkan lagi untuk segera sampai di basecamp. Akhirnya
kami memutuskan untuk menginap semalam di rumah teman yang berada di
Tawangmangu. Baru esok paginya kami melanjutkan ke basecamp. Rencana untuk
memulai pendakian kami sepakat sebelum siang alias pagi hari.
Namun yang menjadi kekesalan kami berlima yang dari Jogja adalah
menunggu lama. Bayangkan saja kami sampa di basecamp Cemoro Sewu pada pagi dan
harus menunggu hingga matahari tenggelam lagi. Sebab teman yang dari Ponorogo
belum juga sampai. Pada akhirnya kami baru mulai pendakian setelah sholat
maghrib. Menunggu masih saja menjadi hal yang membosankan.
Jumlah kami pada saat pendakian ini berjumlah duabelas manusia. Saya masih takut dan gelisah
dengan jalur yang akan saya hadapi didepan ini, takutnya didepan nanti akan
menyiksa seperti waktu pertama kali naik gunung. Tidak ada lagi peremehan untuk
kali ini. saya benar benar belajar dai kejadian yang lalu.
Kata Yusta manusia yang pertama kali mengajrkanku naik gunung. Jalurnya
aman aman saja untuk didaki pemula seperti saya ini. padahal hasilnya sama
saja, jalurnya yang berbentuk tangga membuat dengkul kopong dan lemas. Aduh, tak
ada bedanya, sama saja.
Jalur dari gerbang menuju pos satu terbilang masih santai dan landai
dengan kontur jalanan bebatuan dan pohon cemara yang ada disekeliling jalur. Maka
saya dapat menyimpulkan mengapa jalur ini diberi nama cemoro sewu.
Belum saja sampai pos satu, Dandi sudah kewalahan dan meminta gentian
tas yang lebih ringan. Pucat dan keringat mengucur membasahi seluruh bagian
dadanya. Dandi benar benar salah, dirinya memakai celana jeans dan itu
memberatkan langkah kaki. Alhasil dia mengganti celana. Kamipun harus menunggu
teman yang satu ini.
Dari pos satu ke pos dua kontur jalanan masih juga sama, bebatuan
dan dikelilingi pohon cemara. Sampai di pos ini, pos dua. Saya masih mampu dan
masih bisa bernafas lega. Sebab jalurnya yang tidak terlalu menyiksa ketimbang
di gunung Sumbing kala itu. lagipula beban yang saya bawa terbilang sangat
ringan dibanding dengan barang bawaan waktu ke Sumbing. Pikirku syukurlah. Sampai
disini masih aman aman saja, tidak tahu setelah ini.
Sesampai di pos tiga, saya baru menyadari bahwa setiap pos
dibangunkan sebuah shelter berupa bangunan. Dan dibayangan adalah,
bagaimana bisa mereka membawa bebatuan dan juga bahan bangunan untuk membangun
ini. Pikirku mereka makan apa bisa mampu membawa beban seperti itu ke atas
gunung.
Malam sudah bergerutu dengan dingin yang mulai masuk menusuk pada
kulit. Semuanya merasakan hal yang sama, tak terkecuali saya sendiri. Selama perjalanan
dipenuhi dengan tawa dan candaan teman teman. Selalu saja ada yang dijadikan
bahan tertawaan.
Jalur mulai landai dengan bentuk anak tangga. Kaki yang melangkah
terasa disuntik bertubi tubi. Lutut yang kopong begitu terasa ketika sudah
berada pada jalur ini. bukan itu saja, nafas mulai sesak sebab oksigen mulai
menipis. Selain itu disepanjang jalur menuju pos tiga ini tercium bau belerang
yang entah dari mana asalnya. Semua mencium aroma yang sama.
Karena badan lelah dan kantuk di mata, kami memutuskan untuk
istirahat sejenak di pos empat sambil ngopi santai. Sebenarnya di pendakian ini
dengan jumlah kami yang banyak membutuhkan logistik yang banyak juga. Akan tetapi
sebaliknya, logistik yang kami bawa dibilang tidak cukup untuk jumlah sebanyak
ini. uang sudah habis untuk membayar semua simaksi. Dan parahnya beberapa teman
dari kami tidak membawa uang sepeserpun. Itu termasuk saya sendiri. Maafkeun.
Perbuatan ini jangan ditiru, benar benar bahaya.
Tawa kembali pecah di pos empat ini, ketika kami mulai melempar
canda satu sama lain. Padahal kami sedang berada di tengah hutan, tak pantasnya
seperti ini. ketika itu saya belum tahu apa apa. Hanya ikut ikut saja. Terlebih
lagi ini sudah tengah malam. Dan saya baru menyadari ini adalah perbuatan yang
sekiranya dikurangi ketika ada satu teman yang mengingatkan kami.
Perjalanan dilanjutkan menuju pos lima, pos terakhir sebelum tempat
ngecamp kami nanti. Walau badan sudah lesuh dan mata sudah ngantuk, kami masih
saja melanjutkan perjalanan. Ini lebih baik daripada harus ngecamp ditengah
jalur gunung lawu, kata temanku. Dan itu masih menjadi tanya ketika kalimat
tersebut kudengarkan darinya. Memangnya kenapa?
Pos lima terasa amat jauh, jalur yang sudah menanjak sedari pos
tiga. Kini situasi jalur yang ada lebih menanjak lagi ketimbang dibawa tadi. Jalurnya
yang zig zag masih berbentuk anak tangga ini semakin menyulitkan langkah
saja. Berjalan sedikit nafas tersendak sendak. Ini sungguh menyiksa.
Sedang teman yang lain menyemangati kami. Sebelumnya dia sudah
pernah mendaki gunung ini dan lewat jalur yang sama. Katanya pos lima sudah sangat
dekat, kalau sudah ada besi disekitar tangga, maka pos lima sudah ada didepan. Nyatanya,
dari dia berkata itu sudah dua jam dan belum juga sampai. Ah, jangan sampai ini
hanya akal akalan dia saja, agar kami terus melangkah.
Di ujung depan sana, ada suara teriakan. Itu adalah teman kami yang
sudah terlebih dahulu, dan itu menjadi pertanda baik bahwa pos lima sudah ada
didepan. Langkahpun semakin cepat dan semangat telah kembali. Walau dingin dan
bau belerang masih saja menyelimuti kami sepanjang perjalanan ini.
Sesampai ditempat tersebut, saya kembali dibuat heran dengan apa
yang ada disini. Ini pertama kalinya saya melihat ada warung makan di atas
gunung. Kok mau mereka jualan diatas sini. Padahal dingin dan pasti sunyi. Dalam
batinku kembali bertanya, apa tidak ada pekerjaan lain yang lebih enak
ketimbang harus naik dan turun gunung membawa jualan.
Saya dikagetkan kembali ketika ingin mengisi ulang air mineral kami
yang sudah habis diperjalanan. Disana ada sumur sedalam dua meter yang terbuat
dari semen, bentuknya lingkaran. Decak kagumku dengan kekuatan mereka tak
pernah berhenti.
Tenda mulai didirikan dan hanya ada dua tenda. Satu tenda kapasitas
tiga orang dan yang satunya lagi kapasitas lima orang. Jika digabungkan maka
hanya bisa mengisi delapan orang saja. Sedangkan yang ikut dalam rombongan ini
berjumlah duabelas manusia. Aduh, logistik sudah sedikit ditambah lagi tenda
yang tidak muat. Mau bagaimana lagi, ini sudah di atas gunung. Mau kembali
sekarang, sama saja bunuh diri.
Dan betul saja harus ada yang berkorban untuk tidak tidur malam ini
alias tidur diluar. Dan itu adalah saya sendiri dan Yusta. Sedang yang lainnya
berdesak masuk didalam tenda. Entah bagaimana bentuk mereka didalam tenda. Baru
dua kali naik gunung, nasib sudah begini saja.
Dingin yang amat sangat diluar membuat Yusta dan saya harus membuat
kopi agar kondisi badan tetap hangat. Walau badan sudah diselimuti jaket tebal.
Untung saja kami tidak harus menunggu lama diluar dengan dingin yang mencekam
tangan hingga mati rasa. Sebab pada saat sampai di pos lima jam sudah
menunjukkan pukul tiga pagi. Ah, paling sebentar lagi matahari menyapa dengan
hangat.
Ini benar benar perjalanan tergila dan tak ada perhitungan sama
sekali. Yang pada intinya naik gunung saja tanpa memperhatikan logistik yang
cukup dan tenda yang memadai dengan jumlah rombongan.
Cakrwala mulai berwarna jingga, membentang luas didepan tenda kami.
Ini adalah sunrise kedua saya di atas gunung setelah di gunung Sumbing. Saya
tak mau ketinggalan dengan keindahan Tuhan yang satu ini. Memotret adalah hal
yang pertama dilakukan ketika hal indah ini mulai menampakkan diri di muka
bumi.
Ketika kami sibuk dengan memotret diri dengan keindahan, Fahmi dan
Ais masih saja terlelap dalam buaian mimpi mereka. Tak ada yang peduli dengan
itu, toh sudah dibangunkan sedari tadi sebelum matahari itu merekah
indah dengan senyumnya. Setelah sarapan dengan indomie kami bergegas ke puncak.
Mereka berdua sudah ikut dengan rombongan, tak tega kami meninggalkan didalam
tenda. Semuanya serempak memakai seragam kolektif berwarna merah.
Dan ini menjadi kali kedua saya berada diatas puncak gunung, tetap
sama saja pada hakikatnya tidak ada yang berbeda. Sujudpun menjadi ritual
ketika sampai di atas puncak sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta
atas segala karunia dan kesempatan yang langkah ini.
Puncak Hargo Dumilah menjadi bukti bahwa kaki saya pernah berpijak
ditempat ini. Rasa angkuh dan kesembongan kembali bercucuran jatuh di
ketinggian ini. Semua akan merasa kecil dan tak berdaya sama sekali dihadapan
Maha Penguasa. Tak ada yang bisa
dibanggakan dari apa yang dicapai sampai saat ini, kecuali rasa syukur dan
tadabur pada Tuhan Yang Masa Esa. Tanpa tandingan.
Setelah berfoto foto di puncak, kami bergegas turun dan membereskan
tenda. Namun hal yang tak kami inginkan terjadi. Hujan, dia turun dengan indah
dan mulai membasahi semuanya. Untung saja kami sudah selesai membereskan
semuanya, termasuk tenda. Lebih beruntung lagi ada warung yang cukup besar
untuk dijadikan tempat berlindung dari hujan. Pendakian ini benar benar
membuatku banyak belajar. Dari porsi logistik, peralatan dan kondisi cuaca. Memang
semuanya harus diperhatikan dan jangan pernah meremehakan masalah sekecil
apapun ketika berada di gunung.
Hujan mulai reda dan kami memutuskan untuk segera turun ke
basecamp. Sebab dari kami akan ada yang berkuliah esok harinya. Dan hal ini
tidak bisa ditunda, kami harus benar benar cepat melangkah turuh kebawah.
Dari pendakian kali ini, bahwa logistik itu adalah suatu hal yang
amat penting dan sangat vital dalam pendakian. Percuma saja akalmu bekerja
diatas gunung tanpa ada logistik, maka akalmu tak akan bekerja. Pada akhirnya
kematian mendekatimu perlahan. Jangan pernah mencoba naik gunung tanpa membawa logistik
secukupnya, apalagi tanpa pengetahuan bertahan hidup di belantara hutan. Sama saja
menyerahkan nyawa ke gunung dengan cuma cuma.
Posting Komentar