instagram @merapimountain |
“buruk sangka akan selalu ditemani rasa dengki sampai datangnya penyesalan.
Tanpa ampun, tanpa maaf, keputusasaan akan menghantui siapa saja yang menyerah
sebelum waktunya”
Benar benar tidak bisa saya
sangka, pendakian ketiga ini terlalu cepat terlaksanakan dan ini mendadak sekali.
Tak ada kepikiran untuk ikut dan tanpa rencana. Sebuah ajakan tiba tiba saja
datang pada saya malam itu. Semuanya telah siap saja untuk mendaki ke gunung
Merapi. Saya belum tahu jika mereka akan ke gunung tersebut.
Setelah ke gunung Lawu kemarin,
rasa rasanya masih saja baru pulang. Dan sekarang sudah mau ke gunung lagi,
mana gunung ini adalah gunung yang cukup popular dengan dunia pendakian
indonesia. Padahal belum cukup dua minggu gunung Lawu menyiksa betis dan
seluruh tubuh. Sekarang sudah diajak lagi ke gunung Merapi.
Parahnya lagi di pendakian ketiga
ini, semua perlengkapan saya sendiri belum ada. Mulai dari sepatu hingga ujung
kepala sama sekali belum ada. Sehingga ketika pendakian selalu saja menggunakan
alat dan peralatan seadanya. Sama sekali tidak sesuai dengan standar pendakian.
Terlebih lagi waktu pertama kali ke gunung Sumbing, saya masih menggunakan
celana jeans kala itu.
Karena tidak mau melewatkan
kesempatan yang berharga ini, maka saya menerima ajakan tersebut untuk ikut
mendaki lagi ke gunung Merapi. Dan saya tahu kalau gunung Merapi ini menyimpan
banyak pesona bagi para pendaki. Maka sangat disayangkan untuk dilewatkan
begitu saja. Selain itu jaraknya yang cukup dekat dengan tempat kami.
Oh ya, sebelum itu. Saya dan
teman teman yang lain berangkat malam dari kota Yogyakarta menuju basecamp Selo
gunung Merapi yang berada di Kecamatan Selo Kabupaten Magelang. Dan jarak itu
cukup dekat jika kami berangkat dari Jogja. Akhirnya kami berangkat malam. Aduh,
hampir lupa, ternyata kami berangkat sekita jam setengah tiga subuh.
Kami merubah rencana awal untuk
berangkat setelah isya. Alangkah baiknya jika berangkat sebelum subuh saja agar
ketika sampai di basecamp langsung mengurus simaksi dan kita bisa berangkat
pagi. Sebab kondisi cuaca pagi akan lebih baik, kata temanku. Saya manut begitu
juga dengan yang lain.
Sesampainya kami di basecamp
ternyata pos simaksi masih tutup. Alias si abang penjaga tiket masuk kawasan
konservasi masih terlelap dalam mimpi, tidur. Oh ya, dari kami berenam
menggunakan kendaraan bermotor. Akhirnya kami harus menunggu abang penjaga pos
tiket tersebut, tidak enak juga untuk membangunkannya. Untuk menunggu hal
tersebut, yang lain merapikan kembali barang barang bawaan sedang saya dan Yusta
melelapkan diri didalam basecamp.
Yusta, lagi lagi manusia ini yang
selalu menemani saya dalam pendakian. Dari awal sampai sekarang, selalu saja
ada dia. Dan dia juga yang telah membuat kecanduan dengan gunung. haduh, kenapa
harus candu dengan gunung. Tidak apalah, selama masih ada waktu melangkah jauh.
Kenapa tidak ?
Sepertinya di basecamp ini, hanya
kami saja yang ada dan dua orang pemuda lainnya. Rasanya masih saja deg degan
di pendakian ketiga ini. Sebab saya menjadi tahu bahwa setiap gunung tidak bisa
disamakan, semuanya memiliki kelebihan dan tantangan masing masing. Entah gunung
ini akan menyika atau mau bersahabat. Atau jangan jangan gunung ini sudah
menyiapkan lagi jebakan jalur yang menyusahkan. Ah, pikirku sudah kemana mana
saja. Nanti saja dilihat seperti apa.
Setelah membereskan semua simaksi
yang ada, kamipun bersegerakan memulai pendakian ini. Oh tidak, saya selalu
saja lupa mengabari kepada teman teman masalah harga simaksi atau tiket masuk
setiap gunung. Okelah, untuk harga tiketnya sendiri adalah 15.000/orang. Sudah termasuk
asuransi didalamnya. Dan itu harga pada bulan Februari tahun 2018. Tidak tahu
dengan sekarang.
Matahari sudah menyibak masuk
melewati ujung cakrawala, sinarnya mulai menyinari segenap yang ada di muka
bumi. Termasuk gunung Merapi ini. Walau begitu awan awan hitam sudah
bergerombol diatas sana, berputar dan entah kapan akan turun menghujani dengan
rintik air. Suasana pagi ini sangat dingin, hingga tiap kali bernafas serasa
ada asap yang keluar dari mulut. Seperti di Eropa saja, pikirku.
Merapi selalu saja ditemani oleh
megahnya gunung Merbabu di sampingnya. Pemandangan yang indah di belakang sana.
Ternyata saya baru disadarkan ketika Yusta memberitahukan kalau ada gunung
Merbabu di belakang basecamp ini. Sungguh indah pemandangannya. Megah sekali
gunung itu, inginku segera menjamahi kegagahannya. Padahal Merapi sedang
menunggu didepan sana.
Jantung mulai memompa saat melihat jalur awal
yang diberikan. Jika kalian lihat jalur yang berawal dari basecamp ke gerbang
Selo, maka jalurnya sangat menanjak ke atas. Bentuk jalurnya seperti aspal,
namun terbuat dari semen. Di sekitar jalur awal sebelum masuk gerbang selo
terdapat kebun tembakau dan beberapa tanaman lain milik warga. Memang pada
umumnya yang tinggal di bawah kaki gunung. rata rata yang menjadi tanaman
mereka adalah tembakau.
Pada saat sampai di gerbang selo
kami memulai doa pendakian sebelum masuk kawasan konservasi gunung Merapi. Baru
sampai sini saja, saya sudah ngos ngosan dibuatnya. Kaki mulai ragu untuk
melanglah selanjutnya. Yang dilihat mata hanya jalur yang semakin menanjak
saja. Saya mulai resah dan tak berhenti gelisah. Apakah kejadian waktu di
gunung Sumbing akan terulang lagi di tempat ini. Doaku jangan sampai itu
terjadi.
Kaki kaki kami mulai melangkah
menapaki jalur menuju pos satu yang katanya dekat. Tidak tahu itu bohong atau
tidak seperti kemarin, tapi semoga saja ini benar adanya. Karena pendakian ini
kami dibawa oleh senior kami. Beliau sudah lama bergelut dengan dunia naik dan
turun gunung ini. Dan dia berjalan tepat dihadapanku. Sedang yang lainnya
berada di belakang. Saya mengikuti langkahnya yang dibuat zig zag, katanya
untuk mengurangi rasa capek ketimbang harus berjalan lurus ke atas. Dan saya
mengikuti langkahnya.
Setelah mengikuti arahannya dan
terus berjalan mengikutinya nafas sudah tidak bisa lagi menahan untuk meminta
berehenti berjalan. Tapi saya masih memaksa untuk berjalan dan pada akhirnya
kepala mulai pusing dan perut rasanya mual. Bagaimana tidak mual, jalurnya itu
sangat menukik ke atas. Entahlah seperti apa itu. Selain itu ketika berjalan
saya juga merunduk kebawah.
Namun saya tetap saja memaksa dan
terus berjalan. Saya malu untuk meminta break atau istirahat. Mereka masih saja
terus berjalan. Akhirnya saya menyerah dengan kepurapuraan saya. Kepala pusing
dan perut rasanya ingin muntah. Semuanya berhenti sejenak menunggui.
Benar saja, saya akhirnya muntah.
Kepala yang pusing rasa rasanya sudah tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Tapi
kasian teman teman yang lain yang masih semangat sampai puncak. Jangan sampai
cuman masalah ini mereka juga akan ikut turun denganku. Ah, rasanya tidak enak.
Fahmi menawarkan permen. Sedang perut
masih juga mual dibarengi dengan kepala yang pusing. Haduh, cobaan apalagi ini.
Setiap pendakian pasti ada saja yang seperti ini. Dan saya selalu saja menjadi
orang yang merepotkan bagi yang lain. Mau turun saja tapi tidak enak dengan
yang lain. Ya sudah, lanjut saja.
Perjalanan tepat dilanjutkan. Dan
setelah berjalan beberapa langkah. Rasa mual dan kepala pusing mulai hilang
dengan sendirinya. Sepertinya, asal muasal masalah ini adalah ketiak saya memaksakan
diri mengikuti langkah zig zagnya tadi. Saya belum terbiasa dengan hal ini. Maka
ini akan menjadi pembelajaran bagi saya pribadi. Terimakasih alam, sekali lagi
saya banyak belajar darimu.
Jalur yang sepi ternyata tidak
begitu juga adanya. Masih ada orang yang berpapasan dengan kami di jalur ini. Mereka
adalah dua pendaki asal Denmark, kami saling bertukar sapa. Dan pada akhirnya
kami meminta foto bersama. Dan entah apa esensi dari semua ini, sepertinya
masih membudaya dikalanagn pendaki dengan hal ini. Ketika melihat pendaki luar
negeri, pasti di ajak foto. Apakah kalian juga seperti itu?
Pos satu sudah didepan ternyata. Disini
ada shelter yang dibuatkan gazebo dengan luas dua kali dua meter untuk
peristirahatan para pendaki. Disana sudah ada beberapa pendaki yang ingin
turun. Setelah bertanya, ternyata mereka akan turun ke basecamp. Dan tinggal
kami dengan dua pemuda tadi yang menuju puncak. Tidak tahu dengan besok.
Kami melanjutkan perjalanan
setelah meneguk beberapa air. Ternyata jalur gunung merapi ini yang paling
menyiksa memang diawal tadi. Kondisi jalur dari pos satu menuju pos tiga masih
berupa pepohonan rimbun dengan vegetasi yang masih terjaga. Dalam benaku
bertanya, inikan gunung Merapi yang masih aktif dan setahu saya gunungnya pasti
berpasir seperti apa yang sering saya lihat selama ini. Ternyata masih ada
pohon yang tumbuh di sekitarnya.
Pos dua lebih cepat kami gapai
ketimbang pos satu tadi, sebab sayalah penyebanya. Matahari mulai berseri di
atas kami. Karena di awal kami berencana akan mendirikan tenda di pasar bubrah,
akan tetapi mendapat peringatan oleh pos penjaga di bawah bahwa situasi cuaca
dari semalam badai dan hujan. Maka kami memutuskan untuk mendirikan tenda di
watu gajah saja, setelah pos dua. Berarti sebentar lagi akan sampai.
Tiba tiba saja mentari meneduhkan
diri dibalik awan awan hitam itu. Pertanda hujan sebentar lagi akan turun, kami
mempercepat langkah agar segera mendirikan tenda di watu gajah. Dan benar saja,
setibanya kami di watu gajah gerimis mulai turun sedikit demi sedikit. Dengan segera
kami mendirikan tenda agar tidak kehujanan. Yusta tetap menjadi nyang terbaik
ketika proses ini. Mungkin dia sudah memiliki bakat alami dengan alam.
Syukur, setelah mendirikan tenda
barulah hujan turun dengan sendirinya. Hujannya juag tahu dengan keadaan kami. Cuaca
kali ini masih bisa diajak berdiskusi walau sebenarnay tidak begitu. Kami sampai
disini pada siang hari, walau keadaan diluar mendung hujan dan terasa seperti
maghrib saja. Sehingga kami banyak menghabiskan waktu di dalam tenda untuk
bercerita, itupun tidak jelas. Bahkan Fahmi sudah tertidur saja.
Ini menjadi pengalaman pertama
saya di guyur hujan deras di atas gunung. Yang dipikiranku adalah badai. Jangan
sampai badai menyerang kami. Jika itu terjadi, saya tidak tahu akan berbuat
apa. Saya terlalu takut dengan kondisi seperti itu, sangat.
Ternyata hujan baru bisa reda
ketika sudah menjelang sore. Lama juga hujan itu membasahi tenda kami. Fahmi masih
terlelap didalam tenda, sedang saya dan Yusta keluar dan menikmati teduh dan
dinginnya gunung Merapi di watu gajah. Walau taka da yang bisa kami lihat,
hanya ada embun dank abut yang saling beriringan. Sesekali kabut itu hilang dan
menampakkan apa yang disembunyikan. Maka mata kembali kagum ketika melihat
keindahan di baliknya.
Karena dingin, Yusta berinisiatif
membuat kopi di luar tenda. Sungguh lebih indah lagi dengan ini, dingin
dibersamai dengan kopi. Nikmat sekali, tidak ada senja disini. Seruput di bibir
gelas membuatku ingin tetap berlam lama disini, rasanya tak ingin kembali. Saya
lebih betah disini.
Karena kami berencana summit
attak besok pagi, maka waktu sangat panjang sekali yang dapat kami gunakan
untuk bersantai sejenak di watu gajah ini. Memotret, bercanda hingga gibah
menjadi pengisi kekosongan kami selama berada disini. Setelah begitu sore,
ternyata ada tiga pendaki lain yang baru juga datang dan akan muncak esok pagi.
Sepertinya kita akan bersama mereka nantinya. Syukurlah, tidak begitu sepi.
Esoknya, seusai sarapan pada
biasanya. Kami menyegerakan ke puncak melihat kondisi cuacau yang masih saja
berkabut dan tak mau pergi sejak kemarin sore. Sedang tiga pendaki itu sudah
tidak berada lagi di dalam tenda. Nampaknya mereka sudah mendahului kami pagi
ini.
Sebelum ke puncak kami
menyempatkan mengambil momen untuk di abadikan di Pasar Bubrah. Setelahnya barulah
menuju puncak. Disini tidak lagi berupa tanah seperti jalur kemarin, disini
berupa pasir dan bebatuan. Ini adalah miniature kecil dari gunung Semeru, kata
Yusta. Melangkah sekali turunnya dua kali. Tapi ketika melangkah di atas pasir
ini, yang ada dengkul menjadi kopong dan rasanya malas mau ke atas.
Bahagia dan syukur. Itu yang ada
ketika kaki ini berhasil berada pada puncak gunung merapi. Nama puncak dari
gunung merapi adalah puncak garuda. Dan ini menjadi kali pertama lagi saya
melibat kawah yang bergerumul layaknya air yang mendidih dibawah sana. Kubangan
dengan diameter yang cukup luas ini membuatku takjub sekaligus takut berada
disini.
Kami tidak benar benar bisa
menikmati ini, sebab kabut masih saja menghalangi pandangan. Sedang gerimis
telah gemuruh jatuh. Dan sebentar lagi hujan akan turun. Belum saja menyempatkan
berswafoto, langit sudah menghujani kami dengan air. Ah, betap kurang
beruntungnya saya untuk pendakian kali ini. Akhirnya kami segera turun agar
tidak terjadi apa apa. Sebab hujan amat deras dan jarak pandang mata terbatas
akibat kabut yang menyelimuti. Sedangkan ketiga pendaki itu masih bersikukuh
ingin menunggu hujan reda.
Sepanjang perjalanan menuju
tenda, kami diguyur hujan dan kaki tidak membawa jas hujan sama sekali. Kami harus
merelakan baju kami dibasahi hujan, benar benar basah. Untung saja kami sudah
mempersiapkan baju ganti jika saja hal ini terjadi. Dan ini sungguh membantu. Sesampai
di tenda, hujan ikut reda. Ah, kenapa tidak dari tadi saja redahnya, keluhku.
Tanpa mau berlama lama, setelah
membereskan semuanya. Kami menyegerakan turun kembali kebawah. Sebenarnya kami
mengkhawatirkan dengan tiga pendaki tersebut dan kami sudah memperingati
mereka. Tapi tetap saja tidak didengarkan. Ah, biarkan saja. Kata kami dengan
ego masing masing. Sepanjang perjalanan turun, para monyet seringkali mengganggu
kami dan kaki tetap saja melangkah turun.
Pendakian ini menjadi pendakian
yang dibersamai dengan hujan. Sejak dari watu gajah hingga turun kembali ke
basecamp kami diguyur hujan. Pasrah, hanya itu yang bisa kami lakukan. Sampai-sampai
ketika kembali ke Jogja harus ada yang memakai sarung. Bahkan saya sendiri
memakai sleeping bad agar tidak
kedinginan sepanjang jalan.
Posting Komentar