Instagram @Jessicakatharina |
“kaki kaki manusia yang menapaki kesombongan hancur berantakan pada jalur sempit dan dingin yang menusuk, tidak ada ampun bagi kesombongan dan keangkuhan anak adam.”
Melintasi batas bersama
perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan. Gunung yang pertama kali saya
pijaki dengan beribu peluh dan keluh sakit pada seluruh badan. Ini adalah
beberapa kisah yang akan saya bagikan kepada kalian yang sedang gabut membaca
tulisan ini. Bukan legenda apalagi cerita mitos, ini benar benar cerita yang
saya dapati dan rasakan sendiri.
Tidak ada dalam benakku untuk
menjamahi sebuah gunung. Akan tetapi ketika mendengar gunung itu adalah hal
yang indah dan menjadi sumber eksistensi anak anak muda zaman sekarang, sayapun
tak menolak perihal ajakan ini. Bahkan sebelum melakukan pendakian perdana saya
ini, saya melihat beberapa postingan teman teman yang amat memukau mata dan
menakjubkan. Berada di atas awan dengan sejuta pamornya. Siapa yang tidak mau?
Destinasi ini berawal pada bulan
Oktober 2017 yang lalu, tepatnya tiga hari setelah pelaksanaan ibadah shalat I’d.
Pendakian pertama ini diajak pertama kali oleh teman dekat saya, Yusta dan juga
Ais. Merekalah orang yang pertama kali mengajarkanku banyak perihal mengenai
pendakian. Walau sebenarnya mereka masih sangat awam dengan dunia naik dan
turun gunung. Tidak tahu dengan sekarang.
Hal pertama yang saya pikirkan
dalam benakku adalah bahwa gunung yang akan saya daki ini merupakan gunung yang
sama saja di belakang rumahku alias kebun biasa. Sebab saya terlahir dan sudah
terbiasa dengan hutan belantara, maka saya menganggap gunung yang akan dijamah
ini akan biasa biasa saja.
Gunung Sumbing ini adalah gunung
tertinggi ketiga di seluruh tanah Jawa, setelah gunung Semeru dan gunung Slamet
dengan ketinggian 3.371 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL). Secara administratif
gunung ini berada pada tiga Kabupaten sekaligus, Magelang, Wonosobo dan
Temanggung.
Pendakian pertama ini hanya
dibersamai enam orang, tak ada perempuan satupun. Karena gunung sumbing ini
letaknya agak jauh dari tempat kami, maka kami memakai motor sebagai
transfortasi untuk sampai di tempat tersebut.
Perjalanan dimulai di kota Jogja
menuju Wonosobo dengan estimasi perjalanan selama dua jam. Perlengkapan pendakian
sudah dilengkapi sebelumnya, seperti tenda, Sleeping Bad, Jaket, logistik. Kata
temanku, logika tanpa logistik sama saja mencari mati di atas gunung.
Gunung ini memiliki beberapa
jalur, namun jalur yang akan kami susuri nanti adalah jalur Desa Kaliangkrik atau
yang biasa disebut dengan Via Butuh Kaliangkrik. Seluruh pos yang dimiliki
jalur ini berjumlah empat pos sebelum mencapai puncak. Sedang jalur ini menuju
salah satu dari dua puncak sumbing, yaitu puncak Sejati. Gunung Sumbing
memiliki dua puncak, puncak Rajawali dan puncak Sejati. Sebelum menulis ini
tidak ada pengetahuanku sama sekali mengenai jalur dan jumlah pos yang ada di
gunung ini. Yang penting sampai di atas puncak kemudian berswafoto lalu di
umbar umbar di sosial media, pikirku.
Ketika menapaki jalur menuju basecamp,
jalan yang disajikan amat tidak bersahabat. Jalan yang sempit, jurang
diseberang, dan tanjakan selalu menghadang kami. Bahkan ketika itu motorku hampir
jatuh akibat tanjakan tinggi. Bukan saya saja, tetapi teman teman yang lain
juga merasakan hal yang sama. Pikirku ini benar benar petualangan baru bagi
saya.
Kami tiba di basecamp pada
maghrib setelah matahari tenggelam ditelan malam. Sebelum memulai pendakian,
kami seluruh tim yang ada menunaikan shalat isya terlebih dahulu. Mengingat kami
adalah anak anak yang soleh kala itu. Kami memulai perjalanan setelah beres
mengurus semua simaksi dan segala regulasi pendakian. Dan baiknya, kata teman
saya pada waktu ketika mendaki malam akan mengurangi rasa capek dan lelah. Sebab
jalur tidak kelihatan dan kaki akan tetap fokus berjalan. Itu katanya.
Pendakian menuju puncak
rajawalipun dimulai. Rasa penasaran dan gelisah masih saja menghantui pikiranku
dengan kegiatan yang baru saya lakukan ini. Apakah jalurnya sama saja jalur
menuju kebun? Atau lebih mudah? Ketika itu semangatku masih saja membara
layaknya pemuda yang baru saja menikahi Nikita Willy.
Untuk mencapai puncak sejati
membutuhkan waktu normal selama tujuh dan delapan jam. Itu normalnya. Bisa saja
lebih lama apabila jalan lebih lambat. Kami berniat akan mendirikan camp di pos
terakhir atau pos empat. Sebab disana nantinya menjadi titik akhir bagi para
pendaki untuk mendirikan camp. Sekaligus pos yang akan menyuguhkan keindahan
lautan awan dan sunrise yang amat cantik.
Ternyata tidak sesuai dengan
dugaan kami, pendakian yang baru saja berlangsung beberapa menit. Teman kami
yang satu sudah tidak kuat lagi meneruskan perjalanan menuju puncak dan
terpaksa harus diantar kembali oleh Ais kebawah. Pada akhirnya kami harus
ketinggalan beberapa menit untuk menunggu Ais mengantar teman kami sampai kembali
di basecamp. Dia akan menunggu kami sampai turun dari puncak. Betapa sialnya,
dia tidak akan menikmati keindahan mentari esok pagi bersama kami, pikirku
malam itu. Untungnya saja kami belum mencapai pos satu, bayangkan saja jika
kami harus menunggunya turun dari pos satu yang amat jauh jaraknya dari
basecamp. Bukan jauh saja, jalurnya juga sangat menyiksa. Dan kami tidak bisa
membayangkan jika hal itu terjadi di pos tiga, kami tidak akan tahu akan
melanjutkan perjalanan atau tidak
Pendakianpun dilanjutkan hanya kami
berlima saja. Karena ini adalah pendakian pertamaku dan masih sangat awam
dengan segala apa yang harus dipersiapkan. Diawal stamina dan semangat masih
menggebu-gebu. Semagat itu mulai berubah menjadi mimpi buruk ketik saya harus
memikul beban dengan membawa beban air mineral didalamnya. Sebab saya yang
ditugaskan waktu itu untuk membawa air. Sedangkan yang lain sudah ada tugas
lain.
Perasaanku mulai tidak enak ketika
menapaki jalur menuju pos satu yang mulai curam dan menusuk betis dengan sadis.
Setiap kali melangkah nafas benar benar mengeluarkan seluruh amarahnya,
ngos-ngosan. Pada saat menuju pos duapun sama saja. Hal yang saya dapati disana
adalah jalur yang tidak ingin melihatku senang. Jalurnya menyiksa dengan
perlahan dan tak membiarkan sejengkal saja dari badanku terlepas dari rasa
lelah. Sungguh ini sangat menyiksa, dalam benakku benar benar ingin berhenti saja.
Dan mengapa saya tidak mengikuti teman yang tadi juga turun diawal. Saya sungguh
menyesal ikut pendakian ini.
Peremehan yang saya lakukan di
awal yang menganggap gunung yang akan didaki ini adalah hal yang biasa saja
berubah malapetaka yang mematikan malam itu. tak ada ampun bagiku. Seluruh tubuhku
terasa lemas. Bahu terasa mau patah membawa beban yang amat berat. Pikirku lebih
baik jadi kuli bangunan ketimbang harus mendaki lagi. Pendakian ini akan
menjadi terakhir kalinya bagiku. Saya sangat menyesal menerima ajakan mereka
untuk naik ke atas gunung. Dan saya juga menyesal telah melihat seluruh
keindahan yang ada difoto foto Instagram. Membuatku tertipu dengan itu,
ternyata pendakian tidak semudah yang saya bayangkan. Jauh dari logika pada
malam itu.
Sejak malam itu, saya memutuskan
ini adalah yang terakhir kali. Teman teman yang melihat kondisi dan merasa
prihatin denganku, maka sedikit berjalan banyak istirahat. Akan tetapi kata
teman yang lain, jangan terlalu lama beristirahat nanti dingin dan lelah akan
menyerang tubuh. Maka saya tetap berdiri dan terus melanjutkan perjalan menuju
pos dua.
Teman teman masih saja terus
memberikan semangat dan memotivasi saya untuk mencapai puncak esok pagi. Tapi dalam
benakku, terserah yang terpernting sekarang adalah cepat turun dan segera
merebahkan badan yang rasa rasanya sudah mau ambruk saja.
Tak disangka sangka kami telah
mencapai pos dua yang melewati jalur pos satu yang amat menyiksa dan dingin
yang amat sangat. Setelah sampai diatas pos dua, lelah agak terobati dengan
pandangan ke arah jalur yang mulai mengampuniku malam itu. setelah mendengar
dari tuturan teman teman, ternyata jalur dari pos satu menuju pos dua adalah
jalur yang memang sangat sulit dibandingkan dengan yang lain. Kemudian batinku
kembali berbisik , apa benar seperti itu, jika benar maka syukurlah kakiku ini.
Benar saja pos tiga kami lewati
dengan amat mudah, sebab jalur yang landai namun memutar seperti obat nyamuk. Namun
yang menjadi permasalahan baru kali ini adalah jalur menuju pos empat. Sudah tiga
jam lebih kami berjalan dari pos tiga. Akan tetapi pos empat masih saja belum
kami dapati. Oh, betisku mulai berteriak lagi dan meminta berhenti saja.
Sekarang, bukan saya saja
mengalami desahan lelah.yang lain mulai merasakan hal yang sama, walau
sebenarnya lelah yang mendekam dalam diriu malam itu jauh lebih dari mereka. Pada
akhirnya kami berniat untuk tidak mencapai pos empat, tetapi mencari space saja yang cukup untuk tenda kami. Kami mulai
menyerah menuju pos empat. Ya ampun, beginikah rasa lelah yang harus saya
hadapi, saya benar benar ingin pulang saja.
Berjalan dan terus menyusuri
malam di tengah jalur yang mulai menanjak. Dan akhirnya Yusta memutuskan untuk
melihat keadaan diatas terlebih dahulu apakah ada untuk tempat buat mendirikan
tenda atau tidak. Setelah menunggu beberapa menit dia berteriak, dan Yusta
telah berada pada pos epmat yang kami cari cari selama ini. Oh Tuhan,
berakhirlah rasa lelah dan letih ini.
Dipos empat dingin amat sangat
hingga membekukan tangan. Yang lain mendirikan tenda dan saya hanya duduk dan
menyinari mereka dengan senter Handphone. Tubuh ini sudah tidak sanggup lagi
berdiri dan membantu mereka mendirikan tenda. Saya hanya bisa menyisakan tenaga
yang tersisa untuk menyinari mereka saja.
Disekeliling telah berdiri tenda
tenda yang berwarna warni. Setelah melihat jam, ternyata seluruh panjang waktu
yang kami gunakan untuk mencapai pos empat dari basecamp adalah tujuh jam, ini
termasuk cepat. Bagaimana tidak cepat, mereka terus memeksaku berjalan walau
dalam keadaan sempoyangan. Dan ketika itu juga saya merasa bangga dengan waktu tempuh
ini. Ini adalah sebuah prestasi bagiku.
Ketika terbangun dan keluar dari
tenda, yang dilihat adalah hamparan awan dan mentari pagi yang mengintip indah dibalik awan. Sunrise yang sungguh
menakjubkan, ini adalah kali pertama bagiku melihat lautan awan disertai dengan
sunrise diatas gunung. Inikah sebuah keajaiban diatas gunung. Diriku kembali
berpikir kala itu, inikah balasan yang diberikan ketika lelah menyerang
semalaman. Dengan suguhan yang indah ini membuatku berdecak kagum dengan
keagungan Tuhan selama ini. Ternyata perjuanganku tidak sia sia. Pagi ini
sungguh indah rupanya. Mataku terkesima dengan hal yang satu ini.
Setelah sarapan pagi, kami
berlima menuju puncak. Begitu juga dengan pendaki lain yang ada disamping kami.
Mereka telah terlebih dahulu menuju puncak. Untuk menuju puncak rajawali dari
pos empat memakan waktu sekitar satu jam normalnya. Waktu yang cepat ketimbang
berjalan semalam yang menyiksa.
Dan lihatlah ketika saya berhasil
menapaki puncak gunung untuk pertama kalinya, sujud adalah hal yang pertama
saya lakukan. Saya merasa amat sangat kecil dan tak berarti apa apa ketika
berada dipuncak ini. Saya sadar akan kesombongan manusia yang sering dijadikan
kebanggaan selama ini. Merasa besar padahal sangat kecil.
Karena tidak mau kehilangan momen
berharga ini. Sayapun segera melakukan swafoto seperti halnya mereka yang ada
di atas puncak, tak terkecuali teman teman yang telah menemani sampai puncak
Rajawali.
Ternyata apa yang saya lihat
didalam foto foto instgram pendaki sebelumnya adalah benar adanya. Tempat dengan
lautan awan di bawah sana benar benar ada. Sungguh sesal ini telah hilang dalam
sekejap. Tiada lagi rasa capek dan lelah didalam tubuh, yang ada hanya rasa bangga
dan senang ketika berada dipuncak tertinggi ini.
Kami menyegerakan turun kebawah,
sebab teman kami yang satunya pasti sudah lama menunggu dan kami merasa kasian.
Setelah sampai kembali di basecamp, dirinya benar benar menyesali dirinya. Yang
tidak bisa ikut bersama kami dan menikmati keindahan Tuhan diatas sana. Walau begitu
dirinya masih bersyukur untuk tidak melanjtukan perjalanan, sebab setelah turun
saya menceritakan seluruh jalurnya yang membuatku ingin menyusulnya malam itu.
Kata orang orang didunia
pendakian. Ketika pertama kali naik gunung hanya ada dua yang dirasakan,
menyesal atau ketagihan. Dan saya termasuk nomor yang kedua. Yaps, saya
ketagihan dengan kegiatan yang satu ini. Mereka benar benar membuatku jatuh
cinta dengan gunung. Inilah cinta pertamaku, cinta yang bersemi di gunung
Sumbing. Saya dan jalurnya akan selalu bersikukuh dalam kenangan, gunung ini
benar benar memberikan pelajaran berharga. Jangan pernah meremehkan pendakian. Itu
yang kudapatkan ketika itu.
Entah sampai kapan lagi saya akan
bertemu dengan gunung ini dengan puncak sejati yang menjulang tinggi dilangit
Wonosobo. Sekedar kabar, dalam pendakian ini, dari kami berenam yang mendaki
Sumbing belum ada yang pernah menjamahi sebelumnya. Benar benar tidak ada yang
tahu menahu dengan jalurnya. Syukur, saya selamat dari itu semua.
Salam lestari.
kayaknya seru kalo baca pengalaman orang mendaki gunung. tapi aku belum dpt hidayah utk melakukan yg sama, udah capek aja perasaan. enakan di rumah, ngopi sambil baca buku. haha
BalasHapusTips ketika mendaki di musim hujan ..
BalasHapusLink : >>Cara menghangatkan tubuh pada saat digunung<<