Instagram @debisagita |
“Terkadang manusia lupa dengan sifat aslinya, sampai lupa sudah
mengganggu kehidupan manusia lainnya. Pada akhirnya mata menjadi pedih dan tak
bisa disembuhkan lagi, untuk waktu yang cukup lama.”
Tidak ada yang
lebih baik dari ini semua. Cerita dari anak anak yang masih menghamba pada
lembah lembah di gunung.
Berawal dari
ajakan yang mendadak, sepertinya dari jurnal jurnal sebelumnya juga adalah
ajakan yang mendadak. Sama halnya dengan perjalanan ke gunung kali ini.
termasuk kedalam ajakan yang mendadak, tanpa persiapan dan rencana apapun. Tiba
tiba saja ada, entah darimana datangnya. Padahal tak pernah diminta perihal
ini.
Ini adalah
pendakian mereka, mereka yang ingin mendaki gunung Sindoro. Mereka inilah
manusia yang telah lama merencakan hal ini. mereka benar benar ingin mendaki
gunung yang ada di Temanggung ini. sampai akhirnya seseorang mengajakku untuk
ikut dalam pemdakian. Dengan alasan mereka mengajakku adalah pengalaman. Bukan
pengalaman masalah pendakian atau apalah itu namanya. Melainkan karena diri ini
sudah pernah menjajaki gunung Sindoro sebelumnya. Oleh karena itu ajakan datang
padaku, dengan dalih saya dijadikan sebagai penunjuk jalan. Ah, rasa rasanya
gunung sudah ada jalurnya. Mengapa harus ada penunjuk jalan pula.
Saya tak
menolak ajakan tersebut, ini adalah kesempatan langkah seumur hidup. Kok bisa
langkah? Disebabkan pendakian ini adalah pendakian pertamaku yang akan dibersamai
dengan beberapa kaum hawa. Bayangkan saja betapa hausnya diri ini mendaki
bersama kaum hawa. Bahkan sejak pendakian pertama samapi yang terakhir kali.
Tak pernah sama sekali dibarengi bersama kaum hawa tersebut.
Maka, sekali
kali mendaki dengan kaum hawa ini. Bagaimana rasanya, dan bagaimana
tantangannya. Huh, ini adalah momen yang tidak boleh dilewatkan. Putusan jatuh,
dan kami siap berangkat dari jogja dengan jumlah delapan orang. Lima orang
berkalamin laki laki dan sisanya berkelamin wanita. Tidak ada yang ganda,
apalagi ganda campuran.
Berangkat
menggunakan kendaraan roda dua alias motor menuju basecamp Kledung. Karena
pendakian kali ini kami akan menggunakan jalur tersebut sebagai jalur yang
dipilih. Sebab jalur tersebut juga adalah jalur komersil yang banyak dipilih
pendaki ketika akan melakukan pendakian di gunung Sindoro.
Berjalan di
atas motor selama tiga jam dan tak kunjung juga sampai pada basecamp tersebut.
Padahal ketika pertama kali mendaki ke gunung sindoro dengan jalur yang sama.
Waktu selama itu kami sudah sampai di basecamp. Dan sekarang kami tak kunjung
sampai pada tujuan. Rasa rasanya ada yang salah dengan jalan yang kami lewati
selama ini.
Dan benar saja
dugaan kami. Kami salah jalan selama ini, pantasan saja tak kunjung sampai pada
tujuan. Yang menunjukkan jalan alias yang pegang map ternyata mengambil jalur
mobil, sehingga kami harus berjalan pada jalur utama. Padahal jika mengambil
jalur motor sudah dapat dikatakan kami akan sampai pada waktu tempuh dua jam
setengah saja.
Kamipun
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jalur motor yang ada pada map
tersebut. Teknologi selalu saja memudahkan kita. Mau kemanapun tidak usah takut
akan tersesat. Benar benar memudahkan, tapi tidak dengan hidup yang ruyam ini.
Namun setelah
meneruskan perjalanan, keanehan kembali merayapi kami semua. Semakin jalan
masuk kepedesaan semakin menanjak saja jalanannya. Seolah kami sedang dibawa
pada jalur pendakian. Sebab jalan yang kami lewati adalah bebatuan dan kerikil
kecil. Belum lagi petani yang sedang menggarap kebunnya disekitar jalanan
tersebut. Ah, perasaanku semakin tidak enak saja. Tetapi kami terus berjalan
dan tak menghiraukan ini, sebab sudah terlalu lama kami dijalan.
Semakin
berjalan kedepan semakin meninggi saja jalanannya. Setelah sampai pada ujung
yang buntu disana kami menemukan tulisan pos satu. Aduh, sepertinya kita sudah
benar benar mauk kedalam jalur pendakian. Namun yang ada dalam map tersebut
menunjukkan arah yang benar, gunung sindoro. Ah, ada yang salah dengan ini
semua. Setelah di cek ternyata benar adanya. Via Kledung ada dibalik gunung
ini, dan bukan pada jalur ini. kami benar benar salah jalan, sedang matahari
sudah meninggi di atas. Hampir rata dengan ujung kepala manusia.
Pada akhirnya
kamipun menuruni jalan itu kembali dan memutar balik menuju jalur Kledung yang
ada dibalik gunung ini. benar benar sial dan kurang diridoi perjalan kali ini.
entah mengapa dan kenapa. Tidak ada kata berhenti lagi, kami harus secepatnya
menuju basecamp. Sebab waktu kami sudah banyak tersita diperjalanan ini.
Akhirnya sampai
juga kami pada tujuan yang benar. Tidak ada lagi kesalahan untuk kali ini. kami
sudah banyak belajar dari kebohongan yang ada selama ini. kebohongan atau
kebodohan kami, entahlah.
Ternyata pada
hari pendakian tersebut sangat ramai dengan pendaki lain. Parkiran penuh dengan
kendaraan roda dua. Untungnya motor kami masih bisa parker ditempat itu. tak
mau berlama lama. Kamipun mengurusi simaksi pendakian. Dikarenakan antrian yang
panjang, kamipun sedikit mengala dengan hal itu. duduk sejenak,
mengistirahatkan kaki kaki yang kaku ini.
Tiba tiba saja
datang kabar yang tak sedap dan tak pernah kami inginkan dari petugas GRASINDO.
Katanya gunung sindoro mengalami kebakaran diatas dan ditemukan beberapa titik
api. Oleh karena itu semua pendaki yang telah siap untuk mendaki disarankan
untuk ke gunung lain saja. Bukan hanya jalur ini saja yang ditutup, tetapi
semua jalur yang ada di gunung sindoro ini ditutup atas koordinasi.
Tak mau
mengambil resiko tersebut. Kamipun memutuskan untuk ke gunung lain. Tapi kami
masih bingung hendak ke gunung mana. Setelah mencek gunung yang dekat dengan
gunung sindoro kami menemukan beberapa opini untuk pendakian lain. Yaitu gunung
Sumbing yang berada di seberang sana dan gunung Kembang.
Hah? Gunung
Kembang? Pertanyaan itu tiba tiba saja muncul dalam benakku. Gunung apa itu,
sepertinya baru mendengar dengan nama gunung tersebut. Ternyata setelah
melakukan penelusuran di google. Gunung tersebut berada di bawah gunung sindoro
alias anak gunung dari gunung sindoro. Gunung tersebut terbilang baru dan baru
dibuka april 2018 lalu. Sedangkan pendakian kami terjadi pada waktu agustus
2018. Baru beberapa bulan. Pantasan saja namanya masih asing ditelinga kami
dengan gunung ini.
Tak berlama
lama, kamipun langsung membela jalanan menuju basecamp Blembem. Dan pada waktu
tersebut, jalur yang resmi hanya jalur via Blembem. Benar benar baru, terbukti
ketika sampai pada basecamp itu. keasrian sekitar masih terjaga. Dan kata
penjaga disana kami yang datang ini termasuk kedalam 100 pendaki pertama gunung
Kembang.
Setelah
melakukan segala kebutuhan pendakian. Kami segera meluncur menapaki jalur
gunung Kembang ini. beberapa dari kami merasa senang, sebab tinggi dari gunung
ini terbilang lebih rendah dari gunung sindoro. Mereka ini adalah orang orang
yang baru pertama kali melakukan pendakian, terlebih mereka ini adalah kaum
hawa.
Pada pukul tiga
sore kaki kaki dari kami telah menapaki jalur yang masih harum dengan rasa baru
itu. ini adalah jalur yang benar benar baru. Disetiap awal masuk kedalam ini
aroma yang berbeda dari beberapa gunung sebelumnya. Penuh dengan aroma alam
yang masih sangat segar. Layaknya perawan dengan Kamasutra tipisnya. Membuat bergairah.
Siapa saja akan ikut terpesona dengan apa yang kami rasakan ini.
Instagram @ukiwardoyo |
Ketika masuk
jalur pertama hingga memasuki kandang babi, pendaki akan disuguhkan dengan
pemandangan kebun teh yang menghijau dan rindangnya. Membuat mata dan kamera
tak mau berhenti memotret. Karea pendakin kami ini masih terbilang sangat baru,
beberapa jalurnya diberikan tanda, agar pendaki tahu mana jalur yang menuju
pada puncak dengan benar. Sebab pada jalur perkebunan the ini banyak cabang
jalan. Sehingga akan membingungkan jika tidak diberi tanda dengan pita dan
bendera kecil yang di ikat pada sekitar kebun teh tersebut.
Kulihati dan
kupandangi kaum hawa ini yang mendaki bersama kami. Mereka terbilang cukup
tangguh dan kuat sampai saat ini. hingga berjalan sejam sampai pada kandang
babi ini, mereka masih kuat berjalan tanpa mengeluh apapun itu bentuknya. Nafas
merea juga teratur, tidak memperlihatkan keuslitasn selama berjalan ini.
Syukurah jika
seperti ini. semuanya akan baik baik saja. Perjalanan terus dilanjutkan
menyusuri rerimbunan pohon yang dipenuhi lumut kayu dengan vegetasi sekiarnya
yang masih sangat tinggi. Jalurnyapun terbilang masih sangat sempit. Memang,
gunung ini benar benar baru bagiku. Bahkan semuanya akan beranggapan yang sama.
Semakin
berjalan jauh menapaki jalur menuju puncak, hari mulai gelap ditelan oleh malam.
Akhirnya jalur yang kami lewati sekarang terbungkus oleh gelap. Lalu senter
masing masing dari kami mulai dinyalakan sebagai penerangan tentunya, bukan
untuk pencerahan.
Kami akan
mendirikan tenda di atas puncak gunung ini, sebab diatas sana menurut informasi
yang diberikan petugas memang untuk pendirian tenda, tidak boleh mendirikan
tenda ditengah jalur. Dikarenakan beberapa faktor yang tidak bisa mereka
jelaskan pada kami.
Datangnya malam,
begitu juga dengan dingin. Dingin itu menyusupi kulit kami yang sedang
bersembunyi takut melalui jaket yang dikenakan. Tapi sayang, persembunyian itu
sia sia saja, tak berguna sama sekali. Dingin terus menembus hingga ke pori
pori kulit kami. Dingin sekali mala mini.
Setelah berjalan
selama tiga jam menyusuri hutan rindang dibawah sana, akhirnya malam
mempertemukan kami dengan puncak yang kami tuju mala mini. Beberapa tenda para
pendaki yang lebih dulu dari kami sudah mendirikan tenda. Tak mau berlama
terserag dingin oleh angin malam di atas puncak gunung Kembang ini, kamipun
menyegerakan mendirikan tenda kami juga. Kagetnya, sebelum mendirikan tenda. Beberapa
tikus sempat bermunculan. Ah, membuat kami kaget saja. Baru kali ini saya
pribadi melihat tikus di atas puncak gunung seperti ini. apa mereka tidak
merasakan dingin yang amat sangat.
Masak selesa,
begitu juga dengan proses makan mala mini. Sesegera mungkin kami menidurkan
diri didala tenda yang terbagi menjadi dua tenda. Tenda pertama buat kami
berlima; kaum adam. Sedang yang lain untuk mereka; kaum yang dimuliakan itu.
walau sebelum tidur itu kami sempat bergurau yang tidak jelas kemana ngawurnya.
Cepat sekali
malam bepergian dari kami.
Lalu setelahnya
terbitlah sesuatu yang sanat indah, sesuatu yang sangat kami nantikan. Percikan
sinar mentari pagi itu dengan warna indahnya membuat mata kami terbangun dengan
sendirinya, entah mengapa bisa seperti itu. seolah olah mata kami dibuat takjub
dan tak mau membiarkannya pergi begitu saja.
Tapi, semuanya
berubah seketika ketika badai itu datang menerpa tenda kami. Ya, tenda kami
dihempas habis oleh badai itu. kulihati tenda itu melayang dan hampir roboh,
walau pada akhirnya roboh juga. Sedang yang lain masih asyik dan sibuk dengan
pengabadian momen masing masing. Tak ada lagi yang peduli dengan tenda itu,
melirikpun tidak. Mereka terlalu sibuk dengan asmaranya masing masing.
Kali ini, saya
menjadi tahu dengan kalimat yang pernah say abaca sebelumnya “Jika kamu
ingin melihat sifat asli seseorang maka ajaklah dia mendaki gunung.” Kalimat
it uterus meletup pada kupingku, bukan saja sampai pada kupingku. Melainka sudah
mengganggu pikiranku pagi ini.
Akhirnya tenda
tenda itu kucumbui dan kurapikan dengan semampuku tanpa memdulikan apa yang
mereka lakukan. Padahal sudah kukatakan jika tenda roboh akibat badai yang
menerpa. Namun mereka masih saja memotret diri, entah sudah jepretan keberapa
itu.
Dengan sabar hati,
tenda itu kuperbaiki dengan diri sendiri. Walau setelahnya salah satu diantara
mereka sadar dengan apa yang dilihatinya. Naluri manusianya masih berpikir
dengan hal ini. syukurlah masih ada yang membantu. Sejak saat itu, hatiku
selalu dibuat resah dengan sifat manusia yang sebenarnya. Ternyata terlalu
banyak drama yang dibuat buat dibawa sana. Gunung memang menjadi tempat salah
satu tempat untuk menempah manusia untuk menjadi manusia yang sebenar benarnya.
Pada saat turun
dari gunung ini. saya disadarkan pada satu hal. Yaitu akan pentingnya menjadi
manusia perasa dengan kondisi sosial. Tidak harus menjadi apa yang terbaik
untuk manusia lain, cukup sadar bahwa yang kita lakukan tidak mengganggu
manusia lainnya. Itu lebih dari cukup.
woww kereen, you re strong sist... kapan summit bareng nihh
BalasHapus