Instagram @Gunungsindoro |
“Ketakutan
akan selalu menghampiri siapa saja yang selalu mengisi pikiran dengan
perasaan takutnya, dihantui oleh rasa takut berdasarkan presepsi.”
Pada jurnal yang kelima ini, perjalanan diawali
ketidaksadaran dan keawamanku mengenai gunung gunung di Indonesia. Jika kalian
sudah membaca pada jurnal perjalananku sebelumnya. Pasti kalian akan kenal
dengan nama Yusta. Yaps, seorang teman yang pertama kali mengenalkanku pada
dunia pendakian (Ini terkesan alay, mau bagaimana lagi).
Dikarenakaj setiap liburan Ramadhan alias liburan puasa,
saya tidak pernah pulang atau mudik seperti mahasiswa lainnya. Saya lebih suka
tinggal dan pergi kemana saja walau sekongan rupiah tak pernah ada. Yang penting
jalan saja, entah kemana. Yang penting jangan pulang kerumah. Ada hal yang tak
bisa saya katakana pada tulisan ini.
Dering telepon bergetar begitu saja, seraya tanganku
membawa pada ponsel di atas meja. Itu dari Yusta, isinya adalah ajakan ke Gunung
Sindoro. Katanya rindu dengan ketinggian, ah ada ada saja. Sayapun tidak
menolak ajakan tersebut. Kami berniat akan berangkat bersama teman lainnya pada
waktu sehari setelah shalat Idul Fitri.
Lagi lagi ajakannya ketika lebaran, sama seperti pada
awal pertama kali saya melakukan pendakian. Sudah dua tahun ini saya lebaran di
atas gunung bersama teman teman yang lain. Ketika yang lain bersma keluarga
bersilahturahmi, sedang kami lebih senang berada di atas gunung. Walau pada
hakikatnya kami juga sangat merindukan keluarga yang jauh.
Pendakian ini terjadi pada tahun 2018 lalu, tepat sehari
setelah pelaksanaan shalat idul Adha. Jumlah personil yang akan membersamaiku
pada perjalanan kali ini berjumlah lima orang termasuk saya sendiri. Dan ini
menjadi pertamakalinya lagi saya mengendarai motor sendiri ke gunung. Jika lain
bersama pasangannya dan saya sendiri saja. Ini lebih baik ketimbang harus
pulang ke kampong halaman dan disuruh ceramah.
Berangkat dari Jogja ke basecamp Kledung, salah satu
jalur dari gunung Sindoro. Dan jalur ini juga adalah jalur favorit dari semua
pendaki, atau jalur yang paling popular dilewati oleh para pendaki. Kami sampai
di basecamp pada pukul sebelas siang, setelah sampai kami tidak langsung naik. Akan
tetapi istirahat sebentar sembari mengurusi simaksi pendaftaran. Dan tak lupa
juga shalat dzuhur pastinya, itu adalah hal yang paling penting untuk dilakukan.
Akhirnya kami berangkat setelah semua urusan beres di
basecamp. Karena kami ingin cepat sampai dan mengurangi sedikit pengeluaran
tenaga. Akhirnya kami menyewa jasa angkut ojek senilai dua puluh liam ribu
rupiah sampai pos satu untuk mengantar kami dan juga carier. Oh ya, buat kalian
yang ke jalur ini di sediakan jasa ojek sampai pos satu saja. Motor yang
digunakan juga adalah motor komersil seperti biasanya.
Setelah menyewa jasa ojek ini, rasa rasanya saya ingin
turun saja. Buat kalian yang akan menyewa jasa ini bersiaplah merasakan sensasi
metal dan brutal dari pengendara. Bagaimana tidak, tukang ojeknya balap walau
jalan di jalur bebatuanj dan rusak mereka masih saja menancap gas. Pikirku, kalu
saja jatuh dari motor, maka rahang dan gigi pasti berpisah berantakan. Tapi kalian
jangan takut, sebab mereka sudah ahli dan mengenal betul dengan jalurnya. Terjamin
aman terkendali, tergantung mental kalian.
Walau lebaran begini, jalur tetap saja sepi dan jauh dari
kata sepi. Sebab jalur yang kami lewati ini adalah jalur yang paling sering
dilewati oleh para pendaki. Setelah turun dari motor gila itu, nafasku
tersengal dan merasa lega kembali,manakala kakai telah menyentuh tanah. Sekarang
kami berada di pos satu via sigedang.
Jalur dari pos satu menuju pos dua terbilang sedikit
menanjak. Untuk diawal masih berupa tanah dan kerikil kecil. Namun setelah hamper
sampai pada pos dua, jalurnya berupa bebatuan.
Setelah sampai di pos dua, kami tidak berhenti lama. Hanya
sebentar meneguk sedikit air lalu melanjutkan ke pos tiga sebelum sunrise camp.
Jalur dari pos dua k epos tiga ini berupa bgebatuan berbentuk anak tangga
seperti di gunung Lawu via cemoro sewu. Walau jalur yang disini tidak begitu
rapi susunanya.
Sesampainya kami di pos tiga tepat waktu ashar. Limat menit
setelah duduk santai lalu adzan ashar berkumandang dari bawah sana. Suaranya jelas,
dan kamipun sholat ashar terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan
perjalanan. Ah, jampir lupa. Untuk pos tiga ini ada warung yang berjualan. Jadi
kalian tidak perlu khawatir, yang penting rupiahmu ada.
Ternyata untuk mencapai sunrise camp ini tidak butuh
waktu yang lama. Kami hanya membutuhkan waktu setengah jam saja. Setelah sampai
di tempattersebut, tenda tenda sudah banyak didirikan. Kataku ke Yusta, mending
kita lanjutkan saja agar ketika nanti summit attak tidak terlalu jauh. Namun setelah
bertanya kepada pendaki yang baru turun dari atas, bahwa tidak ada space
(tempat buat mendirikan tenda) untuk tenda. Dan lagi angin yang kecang. Akhirnya
kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tempat ini, di pos sunrise camp.
Pos sunrise camp adalah pos yang ada di gunung Sindoro
via Kledung untuk menikmati sunrise dipagi hari. Oleh karena itu, nama posnya
seperti itu. Tanpa jeda, akhirnya kami mendirikan tenda di dekat semak semak,
sebab sudah tidak ada lagi tempat selain di tempat itu. Yang lain sudah ramai
dengan tenda pendaki lainnya.
Akhirnya kami bisa beristirahat lama sembari menikmati
senja yang sebentar lagi menitipkan kenangan. Walau senja tidak bisa kami nikmati
seutuhnya di tempat ini, sebab matahari ada dibelakang gunung ini. Untuk melewati
sore yang panjang ini, kami banyak menghabiskan waktu dengan memotret diri dan
sekitas. Memotret seindah indahnya, untuk dijadikan bahan kebanggaan ketika
turun nanti. Kalua yang ini jangan diikuti, jangan sampai gunung menjadikan
kalian sombong dan merasa paling hebat ketiak sudah turun nanti.
Temaram telah membungkus seluruh tempat ini, tidak ada
yang tersisa cahaya kecuali senter dari para pendaki. Makan malam sudah
disajikan oleh kawan kami. Kami berencana akan summit attak pada pukul dua
belas malam. Sebab kami berniat akan muncak sebelum mentari menatap kami di
ketinggian itu.
Kamipun berusaha melelapkan mata dalam mimpi, namun tetap
saja tidak bisa. Kami bhenar benar gelisah dan tidak bisa tidur. Sampai sampai
teman yang lain membuat api di sebelah tenda kami, katanya ingin menikmati malam
sembari menunggu waktu muncak nanti.
Pada pukul sebelas malam kami sudah bersiap menuju
puncak. Senter, air mineral dan berbagai kebutuhan muncak sudah kami
persiapkan. Tenda ditinggalkan dala keadaan tertutup tentunya. Malam malam
begini kami harus menyusuri dingin dan menapaki jalur yang bersemak semak. Kami
adalah orang pertama yang menuju puncak, yang lain masih dalam tenda masing masing.
Mungkin terlelap, mungkin juga sedang menunggu sebentar lagi. Sebab dingin
diluar amat sangat. Tangan kami dibuat beku olehnya walau sudah dibungkusi
dengan kos tangan.
Setelah berjalan selama sejam meniti jalur ini, saya baru
tersadar jika jalur mneuju puncak ini lebih sulit dan curam dibandingkan dengan
jalur yang kemarin sore. Aduh, kepalaku mendadak pusing lagi. Sesekali jalan
istirahat dan menenangkan kepala ini. Lagi lagi gunung memberikan pelajaran
padaku untuk malam ini.
Walau dalam keadaan capek, lelah dan keringat membasahi
tubuh. Pikiranku masih tidak karuan dan terbawa dengan mistis gunung gunung
yang pernah saya tonton sebelumnya. Bagaimana tidak, saya berjalan paling depan
dengan senter buram yang tidak begitu terang seraya merayapi jalur didepan
sana. Yang terpandang hanya gelao dan rasa gelisah. Takut kalau saja nantinya
ada sesuatu didepan sana, pikirkau sudah tidak tenang lagi. Takut, ini baru
pertama kalinya menimpaku di gunung. Dan selama ini juga selalu berjalan malam,
dana man aman saja tanp ada perasaan takut akan sesuatu hal. Beda lagi dengan
gunung ini.
Pikiranku terus dilanturkan kemana mana, dijalur ini
belum ada orang sama sekali, mereka semua masih berada dibawah, berada dalam
tenda mereka masing masing. Sedangkan kami sudah berada jauh disini, hanya kami
berlima. Dingin sudah dikalahkan dengan ketakutanku sepanjang masuk jalur ke
puncak ini. Ah, kenapa Gunung Sindoro begini sekali denganku. Membuatku takut
saja mendaki malam lagi.
Ketakutan dan keresahanku semakin menjadi jadi manakala
sudah sampai pada batu tatah, apalagi salah satu teman pendakian kami
memberikan info mengenai dengan batu ini. Katanya batu itu adalah makam atau
memorial pendaki yang meninggal di gunung sindoro ini. Waduh, kenapa dia
mengatakan hal itu diwaktu gentar seperti ini. Rasa takut semakin menjadi jadi
saja. Dan harapanku sekarang adalah mentari cepatlah menampakan diri dan
mentinari kami. Saya sudah benar benar takut disini.
Tidak mau berlama lama, kamipun melanjutkan perjalanan ke
puncak. Rasa rasanya sudah tiga jam berjalan, puncak sindoro belum juga
terlihat oleh mata kami. Entah kami yang berjalan lambat atau memang puncaknya
saja yang jauh. Malam ini menjadi satu, semua rasa takut dan lelah menjadi
satu. Walau rasa takutku masih saja membersamaiku.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya bendera merah
putih yang lusuh itu terlihat oleh mataku, itu puncak pikirku. Dan setelah
melangklah lebih jauh lagi dan kami benar benar yakin bahwa yang didepan sana
adalah puncak gunung sinodoro yang selama ini kami cari. Rasa takutku tiba tiba
sajahilanag ketika sudah berada di atas puncak.
Hidung kembali diciumi bau belerang, hal yang sama waktu
di gunung Lawu. Mentari masih belum terbangun. Kami benar benar salah menduga,
ternyata kami lebih dahulu sampai ketimbang cahaya mentari. Diatas puncak masih
gelap dan dingin. Kamipun menunaikan ibadah solat subuh diatas puncak secara
bergantian menggunakan matras sebagai sajadah. Sedang yang lain membuat api
unggun kecil dari ranting ranting sekitar yang sudah mati. Karena memang
seluruh tumbuhan yang ada dikseitar puncak kering, tandus, dan mati.
Kopi menjadi penghangat kami selama menunggu mentari
menampakkan diri kepada kami. Pendaki lain belum ada yang menyusul kami, hanya
ada kami berlima di atas puncak ini. Setelah beberapa menit menunggu di atas
puncak bersama dinginnya malam, akhirnya beberapa pendaki lain sudah berhasil
mencapai puncak bersama kami. Kedatangan pendaki lain tersebut disambut dengan
cahaya jinnga kemerahan yang indah. Cahaya cantic tersebut merekah sempurna
dengan senyum yang membelaseparuh cakrawala.
Mata dan lelahnya kaki kami dibuat terpesona dengan
kebesaran Tuhan yang satu ini. Membuat kami sangat bersyukur masih bisa
menikmati keindahan itu. Semakin ternangnya cahaya mentari semakin banyak juga
pendaki yang berdatangan di atas puncak ini. Seperti biasa, kami mengabadikan
momen indah di puncak ini dengan berfoto foto menggunakan berbagai macam pose
dan gaya.
Ramai sekali pendaki di atas gunung ini, sedang mentari
sudah benar benar tidak berwarna jingga lagi. Bahkan ketika kami turun sampai
tenda, masih banyak pendaki lain yang menuju puncak. Pikirku adalah apa mereka
ketiduran atau memang sengaja muncak jam segini agar tidak terserang dingin
yang amat sangat seperti kami berlima ini. Entahlah, itu hak hak mereka,
mengapa saya urusi.
Dan ternyata setelah turun dari gunung, temanku yang lain
barulah bercerita bahwa mereka juga merasakan hal yang sama. Rasa takut, walau
sebenarnya mereka berusaha menyembunyikan itu ketika berada di atas gunung. Bahkan
beberapa dari kami melihat dan merasakan hal mistis sewaktu berada didalam
tenda sebelum menuju puncak.
Benar atau tidaknya itu adalah perkaranya, sewaktu
mencari ranting kayu untuk membuat api unggun disamping tenda. Dirinya melihat
sesosok putih yang tiba tiba saja melintas didepannya, sangkanya adalah babi
hutan. Tapi mana mungkin babi berpenampilan putih. Entahlah.
Posting Komentar