“Pohon pohon yang kehilangan akarnya akan segera roboh dan termakan rayap akibatnya, tidak ada didunia ini yang sanggup hidup sendirian. Ada banyak unsur yang membantu proses kehidupan hingga kerakusan muncul dengan sendirinya.”
Beberapa anggapan manusia tentang manusia lainya
terkadang membuat halusinasi yang meninggi dari manusia lainnya. Tidak pernah
merasa untuk tersaingin oleh manusia lainya. Selalu merasa paling lebih dari
yang lain. Padahal sama sama berasal dari Rahim manusia yang lumuri oleh dosa.
Seakan tak mau berhenti bergerak jauh, kaki kaki merasa
untuk diadu kembali dengan tanjakan. Akhirnya diputuskan untuk menganulir
gunung mongkrang. Buat kalian yang belum tahu dengan gunung yang satu ini akan
diperkenalkan. Tapi, sedikit saja.
Gunung ini berada tepat disebelah gunung lawu dengan
ketinggian 2194 MDPL. Bentukannya seperti gunung kembang yang berada tepat
disamping gunung sindoro. Dengan kata lain anakan dari gunung lawu. Walau begitu,
pesona dan tantangan yang diberikan tidak akan kalah dengan gunung gunung yang
lain.
Berawal dari cerita teman yang pernah kesana, hasrta dan
rasa penasaranpu mulai membatin untuk segera menjamahinya sesegera mungkin. Dan
jatuhlah temponya dimana perencanaan beberapa minggu setelahnya. Dan pendakian
ini adalah pendakian penutup, sebelum masuk pada tahun yang baru.
Akhir Desember 2019.
Personil pada perjalanan kali ini berjumlah lima orang. Dan
ini membuat salah satu dari kami harus ada yang menyendiri untuk mengendarai
roda dua dari Jogja menuju Tawangmangu. Berangkat siang dan baru sampai setelah
isya berkumandang. Keterlambatan tersebut diakibatkan hujan deras yang melanda
di tengah jalan. Dan itu mengharuskan untuk rehat sejenak di perjalanan.
Seperti pada jurnal jurnal sebelumnya, tidak ada
penjelasan mengenai biaya dan simaksi masuk kedalam gunung. Ini sengaja memang,
sebab jurnal ini hanya akan berisi cerita cerita garing. Akan ada sebuah
kalimat yang menguraikan ini semua.
Sebelum memulai menapaki jalur yang mulai gelap didepan
sana, kami mengisi perut terlebih dahulu diwarung dekat jalur pendakian. Dengan
hanya berterangkan lampu ponsel, langkah kaki kami mulai menyusuri jalan
setapak yang basah dan lembab ini. Sepertinya sangat ramai di tempat ini, ada
banyak sekali pendaki yang berlalu lalang. Bahkan ada beberapa SISPALA yang
melakukan pelatihan di kaki gunung ini.
Setelah masuk kedalam
jalurnya, ternyata memang tanjakan yang diberikan lumayan menyengat betis dari
kami. Apalagi Ami, lelaki yang baru mendaki bersama kami. Terlihat mulai sedu
dengan nafasnya sendiri. Padahal sedari tadi mengejek bahwa gunung cuman segini
saja. Namun semua yang dikatakannya tentang gunung tak ada bedanya itu. Kini,
mulai dirasainya sebuah penyesalan akibat perkataannya tersebut. Kaki dan nafas
mulai dihardik oleh jalan menanjak ddidepan sana. Sungguh membuatnya mengakui
semua salah salah kata yang barusan terucap olehnya.
Dasar manusia, selalu saja meremehkan sesuatu. Walau gelap
begini, rasa rasanya ramai sekali. Bagaiaman tidak, sepanjang perjalanan kami
disibukkan dengan menyapa pendaki lain yang sedang berusaha mencapai puncak
juga.
Karena titik kluminasi gunung ini terbilang rendah, maka
pendirian tenda ada dipuncaknya. Sama halnya dengan gunung Andong, Kembang dan
beberapa gunung lainnya. Ini membuat kami berempat harus terus menyemangati Ami
agar sampai puncak. Karena memang tidak ada camping ground yang cukup untuk
tenda kami.
Setelah berjalan sepanjang tiga jam di menapaki jalur
gunung mongkrang. Akhirnya tenda tenda yang terususun rapi terpandang oleh mata
kami. Rasa senang dan juga bahagia akhirnya menyelimuti kami. Terlebih lagi Ami
yang baru pertama kali ini mendaki gunung.
Tak mau berlama diluar yang semakin dingin, tendapun
didirikan dan gerimis mulai luluh dari atas sana. Menggerutui tenda kami dari
luar. Karena rasa lelah sepanjang perjalanan dari kota Jogja, membuat kami
berlima kantuk dan menyegerakan diri tidur. Tapi sayangnya rasa dingin selalu
saja menjadi lawan untuk tidur. Dan pada akhirnya tidur tidak begitu nyenyak
akibat dingin yang terus terusan menusuk tubuh kami.
Sepagi ini tenda kubuka dan hanya ada tembok putih saja
yang ada, jarak pandang terbatas sampai sepuluh meter. Kabut tebal itu telah
menutupi sesuatu dibalik puncak gunung mongkrang. Membuat kami haru menunggu
hingga kabut tersebut pergi dan menjauh dari tenda kami.
Tak perlu waktu lama untuk itu, sejenak mata dibuat
takjub lagi dengan apa yang dilihatinya. Hamparan bukit yang indah berada tepat
disamping gunung ini dengan latar gunung lawu tang berdiri kokoh disana. Dan
ini membuat Ami mulai tak selalu utuh pada apa yang dijalaninya, ternyata
diluar ini ada hal yang selalu menunggu untuk dijabatangani. Sungguh indah
memang. Tak ada yang bisa membuat hal ini kecuali sang kuasa.
Semua yang ada benar benar dibuat tak utuh. Seakan semuanya
perlu menyatu pada keberagaman bentuk demia sebuah keindahan yang utuh. Sebuah anugerah
yang diberikan pada dunia ini sungguh membuat manusia dibutkan dengan syahwat
dan nafsu.
Kopi selalu saja menjadi minuman pasti dan selalu ada
disetiap pendakian. Dan menjadi sesuatu yang wajib ada. Setelah beberapa gelas
dihabisi dan melakukan ritual eksistensi, kamipun menyegerakan turun, takutnya
hujan akan lebih dulu membasahi kami.
Dan benar saja, setelah sampai pada warung yang dekat
dengan parkiran, hujan mulai membubuhi diri keatas bumi. Di gunung mogkrang
belum ada basecamp, sehingga kami hanya bisa bertedu pada warung tadi. Hingga hujan
reda, dengan itu pula jejak kami tinggalkan dan lekas menuju kota jogja untuk
kembali.
Posting Komentar