Instagram @gunungprau_viawates |
“Ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari setiap proses perjalanan, termasuk rasa jenuh yang kerapkali menerjang diri. Dan itu adalah sebuah kewajaran, dan tidak menjadi wajar ketika terus terusan terjadi.”
Apalagi
yang harus dilakukan manakala tubuh sudah mencapai batas dan kelelahannya. Perlu
rehat dan merefresh kembali otak dan pikiran dari keramaian kota. Sudah terlalu
lama bising pada alunan sepoi yang mengalir berantakan pada siput telinga ini.
Sepertinya pada jurnal jurnal
sebelumnya, selalu saja pada acara yang dadakan. Atau pendakian yang tidak
direncanakan sebelumnya. Penuh dengan ketidaksiapan pada hal ini. dan pendakian
gunung yang satu ini bisa dibilang adalah hal yang sama dengan gunung gunung
yang tidak ada perencanaan sama sekali.
Pada sebenarnya, gunung Prau adalah
gunung yang ingin sekali kujamah selama ini, sejak mengenal dan jatuh cinta
dengan dunia naik dan turun gunung. Terlebih lagi gunung Prau terkenal dengan
pemandangan yang disuguhkan begitu indah dan menawan bagi setiap mata anak
adam.
Gunung Prau adalah gunung termewah
dan tercantik di negeri ini. bagaimana tidak Aksara mengatakan hal demikian
jika tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bagi setiap pendaki yang sudah
mengenal dengan dunia pendakian di Indonesia. Pasti akan mengakui keindahan
gunung yang satu ini. Tidak ada satupun pendaki yang akan mengatakan jika
gunung ini tidak layak dikatakan gunung termewah di Indonesia.
Bahkan sunrise disini dijuluki sebagai
golden sunrise. Dan fakta tersebut memang benar adanya. Jika gunung Prau memang
memiliki keindahan sunrise terbaik se-Asia Tengggara. Bayangkan di negara
negara ASEAN, hanya ada satu gunung yang memiliki keindahan tersebut. Dan itu
ada di Indonesia.
Ets, sebelum berlanjut pada seputar perjalanan
Aksara di gunung ini. perkenalkan namanya adalah gunung Prau, dengan ketinggian
tidak lebih dari 3000 MDPL. Tepatnya dengan titik kluminasi 2565 MDPL. Berada pada
daratan Dieng, pastinya dengan suhu yang dingin. Ada beberapa jalur pendakian
yang ada di gunung Prau ini. Namun Aksara melewati via Patak Banteng.
Ok, mari Aksara ceritakan secara
singkat, bagaimana bisa sampai pada gunung yang di idam-idamkan setiap pendaki ini.
Di awal sudah dikatakan jika pendakian pada gunung ini berasal dari ajakan yang
dadakan. Tiba tiba saja ada salah satu teman yang dulu ke gunung sumbing
bersama sama kembali mengajak untuk melakukan pendakian bersama lagi.
Awalnya penolakan terjadi pada saat
itu, walau sebenarnya hanya sekedar basa basi dengan penolakan tersebut. Padahal
dalam hati, ingin rasanya cepat dan ayo berangkat sekarang juga. Dan pada akhirnya pendakian tersebut
terealisasikan dengan ajakan teman.
Pada pendakian kali ini, kami
berjumlah berenam. Dua diantaranya adalah kaum hawa yang baru saja dikenali
diriku ini. Dikenal pada pendakian ke gunung prau. Sedang yang lain sudah
terasa bosan untuk menatap setiap mata dari mereka. Memang gunung selalu saja
menjadi tempat menambah relasi, bukan saja pengetahuan dan pengalaman baru. Akan
tetapi jauh dari hal itu.
Dikarenakan kami berangkat malam
dari Jogja. Maka pilihan yang tepat untuk segera sampai pada puncak Prau adalah
memilih jalur tercepat. Dan tentu pilihan itu jatuh pada jalur Patak Banteng. Terbilang
dengan estimasi perjalanan dari basecamp sampai pada puncak adalah dua hingga
tiga jam berjalan.
Dingin amat menusuk hingga tulang
belulang manakala kami telah hinggap pada Basecamp yang dimaksud tadi. Karena ini
adalah hal baru dan tempat yang terbilang baru bagiku. Berada pada dataran
Dieng memang membuat tubuh akan menggigil, terlebih berada pada kaki gunungnya.
Dentuman gigi atas dan bawah tidak dapat dihindari.
Pendakian kami mulai pada pukul dua
subuh, walau tubuh sebenarnya tidak menginginkan hal itu. namun waktu yang kami
miliki mengharuskan hal tersebut. Mau atau tidak mau, pasti akan dilakukan
juga.
Dalam benakku, ketika mulai beranjak
dari basecamp ke jalur pendakian adalah jalurnya yang santai dan landai,
mengingat tinggi gunung ini hanya 2000-an saja. Tapi anggapan itu semua berubah
seketika, manakala kaki dan mata menatap pada ujung jalur.
Waw, ini pasti akan menyiksaku malam
ini. yang benar saja dengan jalur ini, dari awal jalur sudah disuguhkan dengan
jalur yang berbentuk anakan tangga. Dan bagi setiap pendaki pasti akan tahu
bagaimana nasib dengkul ketika menitih pada jalan ini. rasanya pegal dan nafas
tak beraturan.
Ah,menyiksa diri saja aku ini,
pikirku ketika sudah berada pada tengah tengah pendakian ini. rasa lelah dan
kebosanan mulai meruntuhkan semangatku malam ini. bayangkan saja, rasa lelah
yang ada pada tubuh mengalahkan dingin disini. Semua rasa dingin yang menembus
hingga tulang sudah tidak berasa lagi ketika sudah berada dijalur ini. Benar
benar membuat tobat naik gunung saja.
Padahal setiap pendakian selalu saja
disuguhkan dengan jalur yang berbeda beda, namun rasa bosan untuk tidak mendaki
lagi tidak pernah muncul sama sekali. Pada saatnya bosan itu datang pada malam ini
padaku, jalur Patak Banteng benar benar membuat presepsiku tentang gunung
kembali berubah. Semua gunung benar benar tidak bisa ditebak sama sekali. Walau
sudah disurvei jauh jauh hari.
Keringat yang basah pada tubuh membuat
kepala pusing dan berhenti sebentar sebentar. Padahal baru berjalan beberapa
langkah, rasanya sudah mau mengeluh saja. Benar benar membuatku ingin segera
pulang dan segera merebahkan badan. Sudah terlanjur berada pada
kejatuhcintaanku ini. tidak bisa dilanggar lagi dengan dusta.
Ketika tubuh mulai meneriakkan lelah
yang teramat sangat. Tenda tenda sudah berdiri dengan kokoh dan banyak didepan
mata. Kami telah sampai pada batas pendakian, kami telah sampai pada ujung
gunung ini. Dan semua lelah yang tadi menyerang kaki dan tubuh kami segera
lenyap dan hilang, pergi entah kemana.
Tapi, dingin kembali menyerang. Dengan
serangan yang berbeda, semakin dingin saja rasanya. Semua tangan dari kami beku
dan keram. Tak bisa merasakan sentuhan sama sekali. Tak mau berlama lama
diluar, akhirnya kami menyegerakan mendirikan tenda seperti pendaki lain yang
sudah berada lebih dulu di tempat ini.
Sudah tidak ada lagi cerita yang
perlu kami bicarakan, hanya ada rasa kantuk dan lelah dimata. Menyegerakan tidur
adalah hal terbaik saat ini, bukan yang lainnya. Walau sebelum itu, kami
menyempatkan untuk menyeruput segelas kopi dan indomi untuk melepas sebagian
dingin dan lapar pada perut.
Derita belum sampai pada titik
siksaannya, ketika kami tidur debu debu yang berasal dari luar tenda masuk dan
mengerayapi kami. Entah dari mana debu debu sialan itu masuk kedalam tenda. Kupegangi
rambutku, semuanya berdebu. Sedang yang lain masih melelapkan diri dalam mimpi,
walau debu debu sialan tersebut masih memaksa membangunkan kami. Benar benar
membuat tidak nyaman saja.
Siksa masih ada lagi malam ini,
badai yang dibersamai oleh debu debu menerbangkan sebagian pasak tenda kami. Hingga
membuat layer dari tenda beterbangan. Diriku tak mau mengambil resiko dengan ini,
kendati harus keluar dan memperbaikinya segera. Dan yang lain seolah tidak
peduli dan menutup mata.
Akhirnya kupaksakan diri untuk
menembus dingin dan debu debu diluar tenda untuk memperbaiki rumah gunung kami
ini. Benar saja, dua pasak diterbangkan oleh badai pada malam di gunung Prau. Membuatku
harus mencari cari pasak tersebut. Dan pada akhirnya ketemu dan berhasil
memperbaiki tenda kembali. Tentu dengan menahan apa apa yang menerjang diluar.
Tidurku sangat terganggu, dan tidak
ada lagi posisi didalam tenda untuk berbaring lurus layaknya orang orang yang
rebahan diatas Kasur. Pada akhirnya menutup mata sambil duduk saja. Walau rasanya
tidak nyaman sekali. Mau bagaimana lagi.
Belum lagi sempat tertidur, orang
orang diluar tenda sudah bergerumun dengan suara bising membangunkan pendaki
lain jika matahari sebentar lagi menampakkan diri. Dan barulah tersadar jika
ini memang sudah subuh. Tak mau kehilangan golden sunrise pertamaku. Segera mungkin
kubawa diriku keluar dari tenda untuk melihat keindahan tersebut.
Padahal sudah kubangunkan mereka,
namun masih saja mau melelapkan diri pada tidur. Akhirnya dengan seorang diri
menikmati keindahan tersebut. Tentu saja tidak benar benar sendiri, ada banyak
sekali pendaki disini. Ini benar benar ramai, layaknya pasar. Bayangkan saja
tenda tenda yang dibangun saling berdempetan satu sama lain saking banyaknya
pendaki pada gunung ini. yang terpenting adalah keindahan didepan sana. Dan memang
gunung ini terkenal dengan keramaian pendakinya.
Sebuah syukur dan munajat pada
pencipta ini membuatku selali takjub dengan apa yang disuguhkan didepan sana
membuat rasa lelah sepanjang malam tadi hilang dan lenyap begitu saja. Semua
suguhan pagi ini benar benar membuatku terkesima dan jatuh hati kembali pada
gunung.
Semua telah terbangun, manakala
matahari telah melecit jauh ke atas permukaan. Mereka sudah menyiapkan sarapan
ketika itu juga untuk persiapan turun dari gunung ini. Dan tentunya mengambil
dokumentasi lewat foto menjadi hal yang wajib dan tak terlupakan sepanjang
pendakian.
Rasa bosan pada setiap hal akan
selalu terjadi. Jatuh hati pada orangpun akan sampai pada titik jenuhnya ketika
bosan mulai menyerang pada proses yang dilewati. Termasuk pada cintaku dengan
gunung ini. Tidak ada yang abadi dengan bahagia dan senang, tidak akan
berlangsung lama. Perlu jeda dengan rasa bosan untuk mendatangkan sebuah
bahagia yang baru.
Posting Komentar