pixabay.com/gunung semeru |
“Jangan pernah merasa. Merasa paling, merasa lebih, merasa utuh, apalagi merasa abadi. Alam tidak pernah sebercanda itu pada manusia.”
Desember 2018
Ada yang tidak bisa dilepaskan dari
hasrat dan nafsu jalan pada diri sendiri. Melangkah pada jalur yang teramat
dekat sudah menjadi hal biasa. Kini, mencoba pada hal baru, dengan perjalanan baru.
Tidak ada dadakan kali ini, penuh dengan perencanaan yang teramat matang.
Begini, berawal dari hari ulang
tahun teman kala itu. pada saat kami bertiag sedang nongkrong disebuah kedai
kopi. Tak ada alur yang memancing kesana, salah satu dari kami mengajak untuk
kegunung tertinggi di jawa ini. alias salah satu seven summit milik Indonesia.
Mau tidak mau ajakan tersebut wajib diambil tanpa perlu penolakan basa basi.
Katanya, seluruh simaksi pembayaran
pendakian dia yang akan membayarnya. Sebab untuk menebus hari ulang tahunnya
nanti pada saat berada di puncak mahameru. Kami berdua hanya membawa uang untuk
kebutuhan makan dan perjalanan saja. Sisanya ditanggung oleh yang ulang tahun
tersebut. Katanya lagi bahwa ini adalah hadiah ulang tahun darinya untuk kami.
Dalam tapak perjalanan ke gunung
kali ini akan memakan banyak kata kata yang berujung pada kalimat panjang
berbentuk novel. Bagaimana tidak, ada banyak sekali peristiwa penting yang ada
didalam perjalanan ini. sebab pendakian ini mewakili seluruh rasa sakit dan segenap penderitaan pada gunung gunung
yang terjamah oleh kaki kecilku.
Pada tulisan jurnal kali ini hanya
akan menceritakan sebagian cerita penting dan teramat penting untuk dibagikan.
Sebenarnya ingin rasanya diri ini menuliskan seluruhnya pada jurnal di blog
ini. akan tetapi seluruh dari cerita ini telah dibingkai menjadi satu kesatuan
yang utuh menjadi sebuah novel yang berjudul “Negeri Dambaan Corruption
Attack” ditulis oleh Wa’u (Salah satu teman pendakian ke gunung
semeru).
Jika kalian berminat untuk membaca
seluruh rangkaian cerita yang penuh dengan emosional ini, maka kalian wajib
memberli buku tersebut. Bukunya hanya tersedia di https://www.guepedia.com/Store/lihat_buku/MTEwNDc=
Marilah kuceritakan pecahan pecahan
cerita yang ada pada novel itu sebagai pelaku dan aktor dalam buku tersebut.
Siapa lagi yang tidak kenal dengan
gunung megah yang satu ini. menjadi puncak dari pada dewa. Dengan julukan atap
jawa dengan ketinggian 3676 MDPL. Bukan hanya itu saja, Ranu Kumbulo yang
selalu menawarkan rindu dan ketagihan untuk segera kembali lagi manakala mata
telah berhasil merekamnya dengan baik.
Kenakalan Di
Terminal
Buat kalian
para pejalan yang sudah sering menggunakan jasa bus untuk menuju gunung tujuan,
maka kalian sudah tidak asing lagi dengan manusia yang bernama calo. Oknum
yang satu ini memang menjadi hal yang sangat mengganggu semua penumpang,
terlebih lagi bagi mereka yang tidak tahu menahu dengan hal ini. karena dalam
perjalanan kali ini kami juga menggunakan jasa bus untuk ke terminal Surabaya
dari terminal giwangan, Jogja. Pada saat kami telah sampai di terminal yang ada
di Surabaya, seorang kondektur dari bus yang kami tumpangi mengjampiri dan
meminta sejumlah uang. Katanya untuk biaya tas yang kami bawah, sebab tas
gunung tersebut kami taruh dibawa bagasi.
Rasa heranpun datang begitu saja,
padahal dari awal tidak ada perjanjian untuk masalah ini. namun tiba tiba saja
si brengsek itu memintai kami sejumlah uang. Dan itu terbilang cukup banyak.
Mau tidak mau kamipun memberikan apa yang dimintainya. Dan barulah orang orang
yang ada disekitar memberitahu jika hal tersebut adalah akal bulusnya saja.
Sebenarnya sudah tidak ada biaya yang dilekuarkan lagi ketika uang tiket sudah
terbayar.
Ah, rasanya ingin kubakar kuping
manusia itu. tetai keburu dirinya hanyut bersama dengan bus itu. semoga saja
uang yang kami berikan menjadi berkah.
Hampir Mati
Tragedi yang tak pernah di inginkan.
Kematian hampir saja merenggut jiwaku ketika berada di tengah tengah badai
gunung semeru. Tepatnya pada saat akan summit ke puncak mahameru.
Bayangkan saja, badai dan dingin
yang teramat sangat menyerang, kaki berpijak pada pasir pasir yang lembab.
Sedang hanya ada celana pendek dan jaket yang tidak layak digunakan untuk
pendakian. Hanya itu yang menjadi tameng ketika akan menuju puncak. Jarak
pandang dihalangi kabut tebal. Pikiranku hanya ada penyesalan dan sesal yang
ada. Bagaimana nanti jika aku mati ditempat ini, lalu bagaimana dengan
orangtuaku disana. Sesak nafas dan gigilan pada gigi membuatku tak bisa
melangkah lagi pada pijakan pasir ini.
Hanya ada Wa’u yang terus memintaku
dan menyemangati untuk terus melangkah. Padahal dalam benaknya adalah hal yang
sama, tentang kematianku pada gunung ini. nafas tersendat dan rasanya ingin
muntah, tersiksa sekali diri ini. benar benar kurasakan jika kematian benar
benar mengitariku saat itu.
Perlahan dan jejakan kaki di atas
pasir, seseorang yang tak jauh dari kami berteriak bahwa puncak sudah
digapainya. Tiba tiba saja semangat untuk hidup kembali dari saratuul ini
muncul. Depakan kaki dipercepat dan rasanya masih saja sama. Sakit dan perih
diperut, dingin masih menusuk saja.
Benar saja, untuk pertamakalinya
kaki ini berhasil menapaki tanah tertinggi di pulau jawa. Bukan menapaki, namun
meniadakan ego dan kebersamaanlah yang membuat kami berada pada puncaknya para
dewa. Tak terasa, tetesan air mara jatuh untuk pertamaklinya di atas puncak
gunung. Rasa haru dan bangga tak bisa dituliskan dalam kalimat apapun. Hanya dengan
rintihan tangis berlulur air mata saja yang bisa dilakukan.
Tepat pada subuh dini hari, kami
berlima terlebih dahulu tiba diatas puncak mahameru ketimbang dengan serratus pendaki
lain yang masih bergelut dibawah sana. Akhirnya kami berolawat dalam sembahyang
terlebih dahulu. Namun yang ada diatas sana hanya ada badai, kabut yang teramat
tebal, dan dingin yang menyertai seluruh tubuh.
Maaf, cerita
ini tidak bisa saya lanjutkan pada jurnal blog disini. Sebab keseluruhan isi
cerita yang utuh ada pada buku Wa’u.
Posting Komentar