Gunung Semeru |
Kerumunan manusia telah
mewabah di sekeliling tenda tenda, malam tak seindah yang pernah dibayangkan
setiap kaki disini. Semuanya bergemuruh seiring dengan hidup padamnya cahaya
memetir diatas nirwana. Mata masih sayup terkesan takut menjajal jalan setapak
diujung sana. Bukan kantuk, apalagi mata datuk.
Beberapa jam
setelahnya.
Bendera kusut dan lusuh
tertampar angin sangat amat cepat dan tidak gemulai seperti bendera yang ada di
istana. Terurai tak rapih sama sekali, tak berarah, sebab terbawa kemana mana. Bunyi
tanparan teramat keras hingga terdengar sebelum mata melihatnya. Tak setinggi
tiang bendera tujuh belasan, dan tak sependek pagar rumah di kampung halaman. Namun
cukup indah dipandang ketika mata bersitatap bersamanya. Semua kaki yang
berhasil akan segera bahagia manakala melihatnya.
Tidak ada yang bisa
dilihat diatas sana. Hanya ada kedinginan dan hawa kematian yang bergerombol
mengikuti. Rasa takut bercampur bahagia mengikuti setiap langkah ketika debu
debu dibawah sana sudah tak ada lagi disini. Walau sebenarnya ketakutan yang
teramat sangat sudah dilewati dibawah sana. Masih saja ada ketakutan lain yang
mengikut sampai disini.
Hati menjadi semrawut
bersama kaki kaki disini, entah mengapa jejal menjadi bebal bersama pundak dan
ujung tertinggi pulau Jawa. Tangis merapuh tanpa di buat buat, semuanya lepas
habis tak tersisa. Mata tersendu ketika hati terketuk dengan ego yang selama
ini memonopoli kehidupan. Sedih mendidih pedih dititik kluminasi tertinggi
tanah para Dewa.
Beberapa jam sebelum
Tangis.
Rasa temeh ataupun
peremehan selalu menjadi pengikut pada setiap manusia ketika berhadapan dengan
sesuatu yang dianggap biasa. Menurut manusia seperti itu, namun bahaya sedang
menanti didepan sana. Tak ada yang tahu sama sekali, terlebih bagi mereka yang
tak pernah menjajali setapakan didepan sana. Manusia terlalu angkuh dengan
kesempurnaan yang diberikan pencipta padanya.
Nirwana meneduh padam,
walau tangis tak kunjung membawanya melepas itu semua. Gemuruh deram bersamaan
kilat memekikan telinga setiap manusia yang keluar dari tenda untuk mengikuti
nafsunya semata. Bagaimana tidak, jika mereka menjadikan tempat ini sebagai
ajang popularitas. Menjadikannya sebagai kebanggaan, lalu memamerkannya
disetiap media sosial yang dimiliki. Serakah.
Kepala ditempeli senter,
tepat dijidat demi menerangi jalan disetiap gelap. Malam masih saja menjadi hal
yang tak bisa dilihat dengan mata manusia, entah darimana asalnya. Berjalan,
hawa memanas dan seluruh tubuh mulai meradang karena itu. Dibawah batas
vegetasi masih teduh dan kematian belum datang bagi setiap jiwa yang
berdatangan. Biasa dan manusia masih meremehkan dengan hal ini.
Lalu, setelah vegetasi
dilewati. Semuanya terdiam kaku dan bisu. Disinilah semuanya berawal.
Panas yang menyelimuti
tadi kini hilang entah kemana perginya. Panas tersebut terlalu takut untuk
sampai pada tempat itu. Sekarang, bukan panas saja menjauh dan takut. Tetapi semua
kaki yang sudah terlanjur masuk pada jalur tersebut. Hati memekik takut,
rasanya lebih baik kembali saja. Namun, ego lebih tinggi ketimbang itu semua. Demi
ajang popularitas.
Persediaan air minum
sudah sebatasnya saja, tidak bisa lagi ditenggak sebanyak dibawah sana. Dingin yang
teramat sangat menyeruak masuk kedalam tubuh, entah setebal apa pelindung yang
dipakai untuk menghangatkan diri dari dingin. Mereka tetap saja masuk dan mulai
membuat khawatir.
Tidak hanya dingin,
badai mulai ikut bersahut sahutan bersamaan dengan kabut tebal. Sangat tebal,
jarak pandang hanya bisa menacapai dua meter saja. Bagi setiap pendaki ini momen
yang sangat ditakuti. Ketinggalan ataupun meninggalkan akan menghasilkan
kesesatana di tempat ini. Semua manusia hanya bisa berseruak dalam hati sembari
membawa ego masing masing.
Kaki mulai terpingkal
lelah dan letih yang menusuk betis. Meminta ampun untuk tidak berjalan menapaki
ketinggian lagi. Tubuh gemetaran tak karuan seakan overdosis oleh kafein yang
berlebihan. Otak dan akal tak bisa menyatu. Mulut dan lidah menjadi bungkam tak
bersuara. Hanya ada hati yang merontah rontah meminta ampun. Tidak bisa,
semuanya sudah berada disini. Jika kembali adalah pilihan, akan menjadi hal
yang sama saja dengan berlanjut menapaki ketinggian ini.
Seluruh tubuh menjadi
kaku, pasir menimbun hingga pergelangan kaki tak terlihat. Jika dibiarkan maka
badai dan dingin serta kabut akan menikam habis setiap kaki yang tak mau
melangkah. Paksa, hanya itu yang bisa dilakukan.
Apabila mata tidak jeli
memandang, maka semua akan menjadi celaka dan berimbas pada kematian diri
sendiri dan orang lain. Bagaimana tidak, sedikit salah jalur maka jurang siap
menelan tak tersisa bagi siapa yang tak waspada. Bebatuan yang besar, menempel
pada pasir kapan saja bisa menjadi malaikat maut bagi manusia disini. Tak ada
yang terlihat, hanya ada butiran senter tanpa manusianya.
Semuanya menjadi kusut,
pikiran tak tenang. Semuanya tiba tiba menjadi mengada-ngada perihal kematian. Semuanya
memikirkan hal yang sama.
Bagaimana jika kami
bernasib yang sama dengan Hoe Gie, meregang nyawa diatas tempat ini. Lalu siapa
yang akan membawa mayat kami kebawa. Bagaimana dengan nasib keluarga yang
ditinggalkan, bagaimana dengan yang lainnya dan bagaimana dan bagaimana.
Lantunan tersebut
terngiang terus menerus, melekat tepat di pikiran kami. Tak terkecuali, semua
memikirkan hal yang sama. Perut menjadi mual tak karuan, kaki gemetaran, nafas
tersengal lelah teramat sangat. Ini seperti tubuh yang berjalan tanpa nyawa. Atau
mungkin kematian akan membawa kami bersama badai ini.
Akhirnya,
Ego, berhasil
terpatahkan dan terkalahkan oleh rasa takut yang ditunjukkan penguasa alam raya
ini. Semuanya menangis haru manakala bendera tersayat robek mengepak-kepak
terpandang mati. Kaki kaki manusia berhasil menapaki titik kluminasi tertinggi
tanah jawa. Bukan, bukan berhasil akan hal itu. Tetapi egolah yang berhasil
dikalahkan ditempat ini. Seluruh halusinasi perihal kematian dibawah sana tiba
tiba buyar entah kemana perginya.
Hanya ada syukur dan
rasa terimakasih untuk pencipta yang masih memberikan kesempan hidup demi
memperjuangkan cita cita masing masing. Air mata berlinang bersamaan ketika
mengingatNya, manusia yang memiliki sifat antagonis akan tiba tiba menjadi
introvert dan penakut. Semuanya kembali mengingat siapa penguasa sebenarnya.
Hati menciut tak
berdaya didepanNya, linangan air mata bercucuran jatuh bersama dengan bahagia. Disini
semuanya menjadi erat, semuanya serasa adalah saudara kandung sendiri. Entah mengapa
rasa sosial dan peduli menjadi tumbuh dan tak terbendung oleh penghalang
apapun. Semuanya sama, sama sama manusia. Tak ada bedanya. Manusialah yang
membuat perbedaan tersebut.
Setelah beberapa hari
berlalu.
Yang tersisa dan
tertinggal hanya ada cerita. Disisi lain ada pertanyaan yang mengundang rasa
penasaran. Setelah bergelut dengan hari hari yang membiru, diketahui manusia
yang menapaki ketinggian waktu itu terkena gejala senyum bahagian. Walau ada
seberkas yang masih menjanggal dihati masing masing.
Fenomena cap clouds
atau awan topi telah mematahkan segala ego manusia disana. Memberikan kejutan
hangat yang hampir meregang nyawa setiap jiwa dari manusia. Tersadar hati tidak
sekuat Hoe Gie dalam perjalanannya. Tetap saja, hati menjadi reda dan damai
dengan ego setelah ditempa bersama cap clouds yang luar biasa memberikan
kebinasaan.
Untuk
Soraya Dipelukan Ayah,
Maaf,
terlalu sibuk dengan diri
Sampai
lupa pada kematian yang teramat dekat
Sampaikan
salam pada beliau
Mahameru
menyapa dari ketinggian.
Semeru, December
2018.
Posting Komentar