Pengembaraan Menuju Telaga |
Juli Penat
Setiap manusia akan ada masa dimana tubuh akan segera lunglai dan membutuhkan sejenak pembaringan. Jika perjalanan yang penuh bebal dan berat, maka rasa letih lebih cepat sampai ketimbang cita cita. Kalau saja hati tak sekuat baja, yakinlah ia akan menyerah di persimpangan jalan sebelum sampai garis batas.
Gelombang menghantam kapal milik seorang nahkoda pemberani, lelah akan segera menggerayapi seluruh tubuhnya setelah itu. Pastikan saja, manusia tidak bisa luput dari penat yang sedang menimpa di tengah tengah perjalanan. Sayangnya, banyak dari manusia menyerah dan jatuh di keroyok impiannya sendiri.
Tidak perlu berbohong dengan diri sendiri, mata sayu dengan bibir pucat terlihat jelas dari raut wajah yang kusam setelah diterjang ribuan anak panah milik angin angin semesta. Argumentasi di keluarkan demi pembelaan atas jiwa dan raga yang terbaring di atas bumi, lalu akal terdiam sejenak memikirkan rotasi malam esok hari.
Sampai pagi tiba, tidak seorangpun dari anak anak manusia yang mampu terbangun dari nikmatnya tidur dan menyadarkan diri di balik selimut. Ubun ubun hampir berkeringat akibat terik yang mulai masuk kedalam ruang ruang kosong, penuh dengan bau pasrah dan putus asa. Mengapa? Sebab dingin diluar yang telah panas telah mematikan semangat.
Sepatu tersusun rapi, tepat didepan teras rumah. Tidak bergerak sama sekali, dibiarkan kotor di lumuri aroma tak sedap. Nyanyian dari pohon tetangga membangunkan kembali gairah anak anak manusia. Terbangun dan mata terbelalak akibat kelalaian pada pasrah yang di biarkan masuk ke dalam raga. Hampir hilang arah, pulang pun tak mungkin lagi.
Diantara batin yang rusak dan lapuk di rusak angan angan tinggi adalah kemunafikan atas kesadaran dan ego sendiri. Di telan pengembaraan, berujung nostalgia di bibir pantai bersama air mata. Tak tercapai sama sekali. Bahkan sebelum penat datang, putus asa sudah menjemputnya pulang terlebih dahulu.
Menuju jalan panjang, 15 Juli 2020.
Posting Komentar