Pengembaraan Menuju Telaga |
Membenam Juli
Hampir tiba di perbatasan antara rindu dan luka, sepasang burung terjatuh dari atas pohon rindang. Berdarah darah di beberapa helai bulunya. Tak ada yang tahu tentang mengapa dan kenapa dengan hari esok. Begitulah deretan kisah esok, bait penasaran dan tanya tertanam setiap kali fajar menyingsing begitu cepat tanpa menyisakan ingatan.
Berkhayal agar bisa bersama kembali, dengan peluk peluk yang hilang beberapa tahun lalu. Tanpa jeda, ingatan kembali membunuh seluruh malam dengan luka lama. Terbawa suasana haru berhamparkan duka di pelataran taman bisu. Keraguan hari hari esok menjelma rasa takut berkepanjangan sampai beberapa peluk bertemu.
Pengharapan pada supaya dan agar menjadi bahagia. Hanya ada angan yang tak pernah sampai di titik temu. Lorong gelap termakan sunyi, suara gema pilu terdengar sangat keras di gendang telinga. Tangis pilu akibat peluk hilang kembali datang di tengah badai menerpa dada yang luka.
Tidak ada lagu yang bisa dituliskan dalam do’a, sampai burung burung mampu mengucapkan kalimat pengharapan pada anak anak manusia di tepi telaga tanpa tangis. Biru membiru, telaga dengan kedalaman puluhan meter membuat mata ingin menatap lebih dalam lagi. Beginilah, rasa rasa penasaran selalu mengalahkan keinginan.
Merangkum ambigu di bawah panasnya terik matahari, tanpa segelas air putih yang menyejukkan. Perih sekali rasanya, tenggorokan kering dan bibir berkerut pucat tanpa kata sama sekali. Dan tatapan kosong melompong menghantui hari ini dengan beribu pertanyaan hari esok yang akan datang beberapa jam lagi.
Putih seragam, berwarna hitam rambut. Kini menjadi keputihan akibat usia di paksa waktu terus berjalan tanpa jeda sama sekali. Tak akan ada satu detik pun yang melawan paksaan tersebut. Sampai waktunya tiba, menimbun Juli dengan luka luka perihal kepergian peluk di perantauan nan jauh disana akan menutup waktu hari ini.
Menuju jalan panjang, 17 Juli 2020.
Posting Komentar