“Memasuki tahap melayani ego dengan sebaik mungkin, memenangkan perlombaan atas segala hal yang direnggut nafsu. Betapa banyak bahagia hilang, dilatar belakangi pendewasaan manusia menuju kemerdekaan berfikir”.
Semakin hari, semakin banyak tuntutan di malam hari pada
fikiran manusia. Ada banyak sekali tanya mengenai ini dan itu, tentang hidup
dan bahagia. Membawa suasana malam semakin muram dan tak bisa di makan pulas
sampai pagi. Bayangkan saja, manusia perlu memikirkan hidup bahagia esok hari.
Padahal, maut tak pernah berunding tengah bahagianya manusia. Maut tak pernah
memberi harapan lebih setelah kedatangannya.
Sama halnya dengan tuisan di berita, manusia terbagi
menjadi tiga fase kehidupan di dunia; pembuka, isi, dan penutup. Layaknya
sebuah artikel dalam sebuah majalah, manusia perlu pembuka dalam menjalani
hidup agar tahu bagaimana ia akan menjalani isi kehidupan, sebelum akhirnya
ditutup oleh usia di akhir halaman.
Rahim Rahim ibu pada wanita menjadi awal mula dimulainya
kehidupan manusia, beda hal lagi dengan nenek moyang kita semua; Adam dan Hawa.
Di dalam Rahim manusia mulai membuka hidup dengan ditiupkannya ruh oleh Yang
Maha Kuasa. Mulai memberikan tendangan tendangan kecil pada ibu, sampai
akhrinya menangis menatap dunia yang menyedihkan ini.
Manusia tidak setakut itu, memberanikan diri hidup di
dunia walau tak pernah menginginkan hal tersebut. Sayangnya, banyak yang hidup
dengan keegoisan nafsu belaka. Mengharap lebih pada sebuah kehidupan di dunia.
Seakan akan hidup abadi seperti Iblis yang tak pernah mati. Jangan heran,
banyak manusia berperlikau iblis ketimbang iblis itu sendiri.
Baiklah, terlalu jauh mengambil frasa pembuka pada jurnal
kali ini. Setelah sekian purnama, akhirnya jurnal yang keduabelas ini bisa juga
ditulis dan direalisasi dalam kalimat kalimat abstrak dibawah nanti.
Sepenggal harapan.
Perjalanan Panjang untuk bisa sampai di jurnal ini,
banyak sekali pucuk pucuk drama yang perlu dilewati. Sampai pada akhirnya
tertuang jua. Tidak seperti jurnal sebelumnya yang terbit tidak lama setelah
perjalanan dilakukan. Beda hal lagi dengan jurnal ini, ada banyak sekali
kesibukan atau kesok-sibukan penulis. Atau kasarnya malas untuk menulis jurnal
lagi.
November 2020.
Dan akhirnya, penulis sampai lupa dengan tanggal dimana
pemberangkatan pada pendakian kali ini. Sebelum memulainya, saya memang sudah
merencakan hal ini dari jauh jauh hari sebelum pemberangkatan. Bahkan sebulan
setelah pendakian ke gunung Lawu untuk kedua kalinya. Rencana pendakian kali
ini memang benar benar terencana dan di jadwalkan setelah kegiatan magang
selesai.
Sesampai di akhir semester delapan ini, saya baru memulai
menulis jurnal pendakian ini setelah kemalasan merenggut segalanya. Pendakian yang
cukup melelahkan dan terbilang cukup jauh untuk sekedar motoran dari Jogja. Walaupun
selama perjalanan, saya hanya duduk dibelakang dengan satu tas pendakian di
bahu.
Pendakian gunung Slamet menjadi salah satu impian dari
semua jurnal pendakian ini. Pada pendakian kali ini, saya ditemani oleh enam
orang. Dua diantaranya adalah orang yang mendaki bersama ketika ke gunung Lawu
pada bulan sebelumnya. Kembali lagi, saya mengajak keduanya untuk menapaki kaki
di atap Jawa Tengah tersebut.
Pemberangkatan tidak bersama sama, saya perlu menunggu
kawan pendakian yang menjadi teman satu kendaraan kali ini. Sedangkan empat
orang lainnya berangkat lebih dulu ke basecamp Bambangan pada sore hari jam
lima. Setelah menunggu lama, kami berduapun menyusul mereka pada jam sepuluh
malam dari Jogja ke Purbalingga, Basecamp Bambangan. Sangat jauh dan melelahkan
untuk perjalanan malam.
Tidak perlu saya jabarkan berapa jam perjalanan tersebut
dan betapa melelahkannya dengan mengendarai sepeda motor. Kami baru sampai di
basecamp pada jam tiga subuh, dan ketahuilah mata sudah sangat mengantuk, sedangkan
pagi nanti kami akan mulai pendakian. Tidak ada lagi tempat yang kosong pada
saat itu untuk beristirahat. Ada banyak sekali pendaki lain yang sedang
merebahkan diri.
Sampai akhirnya, kami menemukan satu rumah warga yang digunakan
pendaki untuk beristirahat. Tanpa berfikir Panjang, kami berdua segera tidur dan
mengumpulkan segenap tenaga untuk mendaki pagi nanti. Perlu diketahui, keempat
teman yang sudah berangkat lebih dulu tidak bisa saya hubungi saat di basecamp
karena sinyal cukup buruk. Dan kami berduapun tidak tahu dimana mereka menginap
pada saat itu.
Paginya, kami berenam bisa berkumpul kembali (jangan tanyakan
bagaimana bisa). Seperti biasa sebelum melakukan pendakian. Ritualnya adalah
sarapan atau mengisi amunisi terlebih dulu sebelum peperangan dimulai. Sampai pada
saat registrasi terjadi kegundaan, sebab kedua teman saya tidak memiliki surat
sehat. Dan akhirnya, mereka berusaha mencari puskesmas terdekat untuk membuat
surat sehat.
Manipulasi dan bertindak cepat sebelum terik mencapai
pada batasnya. Saya segera registrasi tanpa memikirkan hal tersebut, terlalu
lama bagiku menunggu hal tersebut. Karena ramainya pendaki yang daftar untuk
mendaki pada saat itu, petugas basecamp sampai tidak mengecek jumlah surat
sehat yang saya berikan. Alhasil, kami berenampun bisa melakukan pendakian saat
itu juga. Keduanya bisa dibilang ilegal pada saat itu. Kalau ini jangan ditiru.
Memulainya dengan do’a adalah ritual terbaik di setiap
kegiatan, tak terkecuali dengan pendakian gunung. Sebab segala sesuatu perlu
disandarkan pada Yang Maha Kuasa. Selalu, di awal mula nafas dan jantung
diberikan penetrasi yang luar biasa. Suara meredam segalanya dengan suara yang
terengah-engah. Keringat mulai membasahi tubuh.
Sebelum pos satu, sayapun mengalami hal yang tak saya
duga sebelumnya. Kepala pusing dan perut mual, sepertinya perjalanan masih
terlalu jauh dan terlalu dini untuk kembali pulang. Mungkin ini sebab karena
kurangnya istirahat di perjalanan. Dengan kekuatan kata kata dari teman teman
yang lain, sayapun kembali bangkit dan melawan rasa lelah.
Tidak ada hal yang pasti di jalur, hanya ada pendaki dan
basa basi sekedarnya. Menanyakan jarak pos selanjutnya. Di hampir setiap pos
kami membeli jajanan khas gunung; gorengan, buah buahan dan es teh tentunya. Selain
menyegarkan stamina kembali, ini juga melariskan jualan para pejuang rupiah di
gunung Slamet.
Sesampainya kami di pos Samarantau, suasana sedikit berbeda
dengan hawa yang ada di pos pos sebelumnya. Disini terasa lebih pengap dan teramat
sepi. Bulu kuduk menjadi berdiri, tetapi kewarasan perlu dijaga ketika berada
di jalur seperti ini. Buat para pendaki pasti sudah tahu dengan cerita cerita mistis
yang ada di pos samarantau ini. Walaupun cuman sekedar cerita, sugesti yang
diberikan saat melewatinya bisa membuat kaki gemetaran. Maka, jalan satu
satunya adalah tetap berjalan dan tenang.
Tidak ada yang perlu di khawatrikan ketika berjalan menyusuri
hutan seperti ini. Kewarasan dan menjaga kesopanan adalah cara terbaik selamat
dari bahaya luar, bahkan dari diri sendiri. Akhirnya kami bisa mencapai pos
lima sebelum adzan maghrib berkumandangan, dan gerimis mulai membubuhi diri kepermukaan
gunung Slamet.
Melihat kondisi fisik kami yang sepertinya butuh
istirahat, kamipun memutuskan untuk menginap atau nge-camp di pos lima. Dengan sisi
lain, pos lima memiliki sumber air dan ini menjadi lokasi yang tepat buat
mendirikan tenda. Di pos lima juga masih banyak pendaki lainnya yang bermukim.
Bincang bincang hangat ditemani kopi yang di tonton kelip
bintang menjadi pemandangan yang asyik malam itu. Dan kami berencana summit
attack pada jam lima subuh nanti, dan selalu saja gagal. Pukul enam pagi
dengan cahaya matahari yang mulai mencuat di permukaan bumi barulah kami
berangkat.
Di plawangan, pos sebelum puncak Surono kami menikmati
pemandangan yang maha dahsyat dengan lautan awan yang menggiurkan mata. Tentunya,
berfoto foto sudah menjadi kebiasaan pendaki ketika melihat hal tersebut. Walaupun
beberapa diantaranya juga lebih senang menikmatinya tanpa perlu di potret.
Tak berlangung lama, kabut mulai menutupi. Kamipun segera
berjalan menuju puncak. Dingin dan Lelah mulau merasuk kedalam tubuh. Dengan tetap
berjalan, tubuh akan baik baik saja (seperti itulah teori dari penulis
sendiri). Semakin naik dengan suasana jalur yang terjal, kabut semakin tebal
dan tak mau pergi. Bebatuan besar dan kecil yang berada di jalur perlu kami waspadai,
sebab tidak ada yang tahu jika saja nanti jatuh dan menganai kami para pendaki yang
sedang berada di jalur pendakian.
Perasaan tak begitu hikmat kali ini, kabut mengganjal
pendakian kami. Karena jarak pandang yang cukup tebal, kamipun berusaha menjaga
jarak agar tetap bersama dan tidak terjadi disorientasi jalur. Tetap yakin,
begitulah ego manusia yang menuntun keadaan menjadi lebih baik walaupun kondisi
sudah tak memungkin lagi.
Fase inilah yang menjadi tantangan bagi kami, apakah akan
lanjut ke puncak atau memilih turun saja. Kami sempat menunggu, dan kabur
tersebut masih saja menyelimuti jalur. Dengan belajar tabah dan sabar pada fase
krisis seperti ini mungkin bisa menjadi jawaban nantinya. Benar saja, kabut
tersebut pergi dan jalur kembali terlihat. Para pendaki yang tetap bersikukuh
untuk ke puncak akhirnya bersorak bahagia. Puncak Surono-pun terlihat menanti di
ujung sana. Dan pada hari itu juga, saya merasa menjadi manusia paling
beruntung yang berada di atap Jawa Tengah dengan di ketinggian 3.428 MDPL.
Begitulah adanya manusia, selalu membanggakan diri atas
pencapaian duniawi yang semestinya membuatnya ragu dengan pencapaian tersebut. Sudahkah
menguasa ego sendiri, ataukah ego yang sudah menguasai diri manusia. Jurnal ini
menjadi perjalanan penting bagi penulis untuk kembali meredam ego dan belajar
tabah dalam segala kondisi, termasuk pada fase krisis usia saat ini. Yang masih
menjadi beban orangtua, dan semoga bisa menjadi lebih baik lagi.
Posting Komentar