Melupa
Hampir tenggelam kedalam dasar mimpi paling dalam, tebing harapan setinggi langit. Bintangpun tak akan sanggup menggapai mimpi tersebut. Sejuta makhluk akan mengumpat dengan makian paling nyaring sejagad raya. Namun, manusia lupa dengan apa yang diberikan Tuhan. Tidak pernah merasa cukup.
Memberikan keringat demi cita cita setinggi langit, tetap saja melupa dengan rahim ibu di perkampungan kumuh. Sedang sakit, tulang tulang mulai keropos dimakan kelelahan akan pengharapan terlalu panjang dan jauh untuk dijangkau dengan kemampuan. Demi sebuah kegalauan yang selalu saja membawa luka.
Sandaran paling kokoh untuk berpulang sudah tiada, kepada siapa lagi jiwa akan ditopang oleh badai pilu. Biru membiru diatas langit, disoraki dengan bintik bintik berhamburan putih. Sekian detik berlalu, mata menjadi risau menatap kebingungan yang semakin meluap dengan setapak di semak belukar.
Baca juga: Kembara | Bagian Keduabelas
Waktu terus mengitari persendian bumi, tidak selamanya manusia akan hidup berada di atas tanah. Sesaat kemudian akan terbungkus kain putih lalu terbujur kaku dengan rasa takut di bawah tanah dengan cacing yang siap menerkam kapan saja. Tidak ada lagi mentari yang sering dikatakan indah, hanya ada ratapan dan penyesalan.
Ingin kembali hidup dan menuai kembali masa yang pernah luput dari salah. Mengira luka berat sendiri adalah masalah yang tak pernah orang lain rasakan. Padahal, ada sejuta manusia yang hidup di tengah luka sepanjang hidup. Sejak lahir sudah dibenamkan dengan gemuruh atom dan ledakan. Sampai matipun berada di bawah puing puing reruntuhan.
Baca juga: Kembara | Bagian Ketiga Belas
Beberapa bagian terlupakan dalam ritme perjalanan. Syair dari do’a ibu sudah tidak pernah lagi sampai, akibat dari dosa yang membuat kematian begitu cepat. Hanya ada deretan kubur kubur di sepanjang pelataran bumi. Merengek minta remedi, dan waktu menertawakan apa yang sudah terjadi. Sebab melupa pada Tuhan alam semesta.
Posting Komentar