Menyapa Lupa
Rintik dari hujan membagi beberapa kenangan di kepala manusia. Diantaranya mampu meremukkan harapan dan asa yang sedang berjalan. Semestinya tidak, tapi kenyataan yang ada bahwa desahan dari rinai hujan lebih merdu dari suara angin malam di balik kamar kamar prostitusi.
Siapa yang akan memberanikan diri untuk membendung derasnya air jatuh dari langit bersama gemuruh petir yang meledak-ledak. Kaca rumah hampir pecah disambar suara kilat. Telinga menjadi peka dengan keadaan sekarang. Tapi tidak dengan kepekaan terhadap teriakan anak anak jalanan penuh keluh dan susah payah.
Akan di hakimi, mereka yang tergantikan dengan barang barang mewah tanpa menyentuh sejengkal perjuangan hidup. Tidak disertai luka patah dan pedihnya penyesalan setibanya di ambang perbukitan asmara duniawi. Sedangkan kuda di kandang sedang kelaparan menangisi jatah sepanjang jalan.
Baca juga: Kembara | Bagian Keempat Belas
Hanya jiwa yang merdeka dengan air mata yang akan mampu menjalani luka sepanjang masa dengan lupa. Semenjak meneriaki bumi rahim dari gelapnya dunia. Tersendu manakala butir dari kedua mata menampakkan dari balik dua tangan. Kemerahan di beberapa sayatan hampir punah sebelum pagi datang.
Merayu sepucuk bunga di taman yang luas bersama perih, sembab masih terlihat dari ujung bola mata sampai pelipisnya. Syair syair penggoda mulai dilantunkan dengan nada yang paling tinggi dan merdu. Bunga bunga tertidur sebelum sadar jika sedang diperalat sebagai do’a untuk terkasih.
Seseorang tidak akan pernah menyapa lupa sampai ia tahu sejauh mana perjalanan membawanya. Sejauh mana egosentris menguasai sebagian dari jiwanya. Sebelum terbaring di atas keranda yang di tandu beberapa manusia. Kemudian diiringi lagu paling sedih untuk berpisah selamanya.
Posting Komentar