Meramu Kegelisahan
Di antah berantah yang berantakan; berisikan manusia manusia buas. Manakala puing puing derita runtuh, sedang makian sedang berada dimana mana. Bahkan di tepi jendela kamar juga masuk menghampiri setiap malam. Lamunan panjang disingkatkan menjadi durjana yang tak pernah sampai tujuan.
Biarkan saja kalimat kalimat setiap paragraf ini tidak beraturan, asal tidak dengan jiwa jiwa manusia di pedesaan. Jika saja terjadi, maka rembulan malam mana lagi yang akan beradu terang tuk menerangi. Jendela dari setiap kamar akan dihantui kegelapan dan rasa takut sepanjang malam.
Getir getir gelisah selalu saja hadir diwaktu yang salah, tidak untuk rasa yang tepat. Sekali lagi, tidak ada yang baik selain menggembirakan gelisah ketimbang memikirkan liku asmara anak muda. Sekali datang hampir membunuh, bila pergi akan membunuh setiap manusia. Bingung jadinya, tangis merambat setiap mata.
Diantara hati masih kaku dengan pikiran pikiran lama, perihal luka yang masih mengendap pada wadah berpilu. Alangkah buruknya, kaki kaki tak lagi merenungkan perjalanan jauh. Menetap dan menyesali seakan akan hidup tak ada lagi arti. Angin musim dingin tergelitik lucu dengan perangai ini, jangan salahkan rumah tuan disapu habis.
Untuk apa mendamba pada harapan yang tidak pernah ada, untuk apa melukai diri sendiri dengan harapan, dan untuk apa meramu gelisah di setiap peraduan di setiap malam. Jika hanya ada tangis dan penyesalan. Sembah sujud berlinang air mata hanya sebuah pengakuan bahwa setiap manusia lemah untuk berbuat. Tidak dengan sujudnya rahim ibu diatas tanah.
Baca juga: Kembara | Bagian Keenam Belas
Jangan katakan kaki tak lagi sanggup melangkah, jika matahari masih menyapa dengan garis garis indah di sepanjang cakrawala. Jangan lagi ada perasaan gunda gulana perihal esok, biarkan kegelisahan habis di makan waktu. Nasib tidak ada yang tahu, tidak dengan peluh dan upaya yang perlu di tata ulang.
Menuju jalan panjang, 26 Juli 2020.
Posting Komentar