Menata Nalar
Bukan sebagai manusia, naluri hilang bersama dengan hilangnya cakrawala sepanjang baris baris langit. Bintang bintang kehidupan jatuh berantakan di atas peraduan paling menyedihkan, di antaranya terbelenggu mati tak berdaya. Layaknya anak burung kehilangan induk, sejak temaram menenggelamkan bibir pantai dari pandangan.
Terlalu tenang dalam renungan di setiap malam, di atas kasur layaknya pelacur yang bersimbah desah. Kehilangan tujuan, serta merta arah tak lagi menentu di tengah pilu yang semakin kerasnya tangis. Pekikan suara gonggongan anjing diluar siap memangsa, kaki kaki gemetar meminta jalan pulang. Terlambat sudah, daging sudah memaki darah terlebih dulu.
Baca: Kembara | Bagian Ketujuh Belas
Pun, pelarian habis diatas jalan buntu. Curamnya jurang siap menerkam kegelisahan anak manusia dan segera menenggelamkan seluruh jiwa yang takut. Betapa tidak, rantai di kaki tak mau lepas sesaat luka luka datang menerjang tubuh. Begitu lemahnya manusia, ditepiskannya masalah pada duka dan tangis.
Tak tahukah, jika karamnya lautan bisa menerjang kapan saja. Bahkan saat seseorang bersenggama dengan syahdu diatas ranjang milik tuan di bawah kaki gunung sekalipun. Tak peduli, jejak di beberapa tirai yang terbuka adalah kenangan mengenai ambisi terhadap mimpi yang tak pernah sampai di pangkuan.
Dibiarkan kuda di sepanjang jalan ditunggangi ego, tak dibersamai dengan tabah dan do’a. Semua berakhir buntu, gelap semakin menjadi. Tidak ada lagi pengulangan mengenai perjalanan untuk pulang. Tidak ada satupun yang akan menolong, hanya diri sendiri yang mampu menolongnya. Tidak juga sebaris do’a dari rahim ibu.
Baca juga: Kembara | Bagian Kedelapan Belas
Terlalu sibuk memikirkan bagaimana dan bagaimana, tidak ada kesempatan pada nalar untuk berpikir sebagaimana yang bagaimana itu. Sistem yang sudah dibangun sejak awal akhirnya runtuh dimakan gonggongan anjing. Maka sempatkan menata nalar sebelum membuka jalan lebar di depan yang masih gelap gulita.
Posting Komentar